BAB I: Dunia Bebas: Antara Dunia Nyata dan Maya

Thumbnail

Judul ini merupakan adaptasi dari kartun karya Peter Steiner yang pernah dimuat di The New Yorker, “On The Internet, Nobody Knows You’re a Dog”.

(Petikan dari http://thebeginner.blogspot.com)
The Beginner

Sepatu mangap lagi. Padahal sudah dilem dengan super glue yang beli di abang-abang seribuan satu. Padahal juga, ini sepatu kesayanganku. Sebuah sepatu boots hak tujuh centi berbahan suede warna coklat pekat. Kalau dipakai bersama jeans belel yang ujungnya dipotong serampangan akan nampak indah. Tubuhku yang mungil sedikit tertolong dengan sepatu itu. Kelihatan menjulang tinggi, melangkahpun jadi gagah. Pokoknya sepatu kebanggaan yang mndongkrak eksistensiku di muka bumi.

Sayang, sepatu mahal itu kubeli dua tahun lalu dengan voucher belanja sebuah pertokoan kelas atas. Vouchernya hadiah dari teman. Lumayan mahal buat kantongku. Mustahil bisa beli lagi sekarang. Jadi solusi satu-satunya adalah mengelemnya dengan super glue setiap kali dia mangap minta makan.

Sialan, di tengah terik panas dan jalan berdebu begini sepatu itu tanpa kompromi mangap minta dicekoki super glue. Susan di depanku berjalan cepat tanpa menengok ke belakang. Sungguh sahabat sejati!

Tentu saja ia takkan peduli dengan aku yang berjalan terseok, sebab sudah ingin bertemu Angelou atau apapun itu namanya, cowok Italia yang dikenalnya di channel Chatzone. Atau setidaknya begitulah ia mengaku. Aku sama sekali tak habis pikir bagaimana teman satu alumniku itu bisa diperbudak oleh komputer. Bahkan ia mengataiku gaptek alias gagap teknologi saat aku mengatakan belum punya email. Ia yang menggiringku ke warnet dan membuatkan email.

“Apa nama id elu?” Susan bertanya setelah mengisi panel-panel kosong sembarang saja. “Jangan nama gue. Kampungan. Ngga keren. Njel… hmm Angel aja,” jawbku asal. Susan kembali mengetuk-ngetuk keyboard dengan cepat. Kupikir dengan kemampuan begitu sebaiknya ia jadi sekretaris saja. Tapi heran, lebih dari setengah penghasilannya dihabiskan di warnet. Kantornya memang ada Internet, tapi aksesnya dibatasi hanya untuk kelas manager. Sedangkan ia, walaupun cantik, pintar dan sarjana sepeti aku, sekadar karyawan staf biasa, ditambah lagi predikat orang baru di kantor yang notabene takkan dipercaya untuk diberi akses berharga apapun.

Jadilah aku punya email. Jadilah Susan mengajariku chatting, browsing, berkiriman email, mencari teman di Internet. Aikon mIRC berbentuk wajah bulat tertawa diperkenalkannya padaku. Setelah diklik aku bisa menseting nickname, email yang ingin diperlihatkan atau nickname alternatif. Tinggal pilih server chat mana yang mau diikuti. Susan menyarankan Dalnet saja, server yang paling ramai dikunjungi chatter. Lalu tinggal memilih channel alias chat room.

“Lu kan pemalu, Njel. Jadi lu bisa nambah temen dari Internet. Modalnya gampang kok, pake sedikit imajinasi. Ngga usah terlalu jujur mengenai diri elu. Sebab ngga semua orang mau jujur di Internet. Cari foto lu yang paling ngga jelas, tapi terkesan cantik. Minta penjaga warnet scan-in, terus simpen di disket atau email. Kalau chatting biasanya suka ada yang minta pic, artinya minta foto,” Susan memberi kuliah singkat.

Sungguh konyol awalnya. Apalagi kuperhatikan semua pengunjung warnet nampak asyik masyuk dengan komputernya sendiri-sendiri. Ada yang menatap monitor dengan mata melotot, cengar-cengir sendirian, sampai ada yang menitikkan air mata. Persis sekumpulan orang gila.

Temanku Susan tak jauh berbeda. Di satu saat ia kegirangan sendiri, melonjak-lonjak di kursinya sambil bersemangat mengetik secepat kilat. Pernah ia menjeri kesenangan ke arahku saat ponselnya berbunyi. “Itu tadi Leonardo! Dia nelpon gue, Njel!!! Langsung dari Spanyol!” Memang tadi kudengar Susan bercakap dalam bahasa Inggris patah-patah yang diulang-ulang mirip anak SD. Katanya Leo juga tak fasih berbahasa Inggris, cuma bisa Spanyol. Di Internet mereka tak banyak kesulitan, tapi begitu bercakap ternyata banyak lafal Inggris yang porak-poranda satu sama lain. Jadilah Susan bicara di telepon dengan gaya Inggris kacau balau, penekanan kata di sana-sini. Bahkan diiringi gerakan tangan bahasa Tarzan, walau Leo jelas saja tak bisa melihatnya. Sungguh konyol.

Tapi itulah temanku Susan. Yang tangis dan tawanya ditentukan oleh online tidaknya teman chattingnya. Pacar di Internet. Huh, lucu sekali kedengarannya. Dan aku terbawa saja arus euphoria pada dunia maya itu. Mulai punya teman dari New Delhi, Qatar, London bahkan Tel Aviv. Mencoba masuk di channel Rusia, France, sampai Teheran. Sungguh gila kalau diingat aku hanya bisa dua bahasa, Indonesia dan Inggris patah-patah. Lalu disusul tukar-menukar foto, email-emailan, diskusi, dan telepon. Tentu saja mereka yang meneleponku, sebab aku harus berpikir sejuta kali untuk melakukan telepon internasional dengan penghasilan seorang sarjana fresh graduate yang baru diterima kerja sebagai staf litbang.

Susan juga yang mengajadi istilah-istilah yang banyak dipakai dalam dunia maya. Aku jadi mulai hapal apa kepanjangan ASL, BF/GF, ASAP, BTW, FYI, LOL, GTG, BRB hingga aikon smiley lucu-lucu. Tapi antusiasku mencari teman chat tak seantusias Susan yang memang bisa dikatakan maniak.

“Cepetan dikit dong Njel… udah jam 7 nih,” Susan berseru dari kejauhan. Aku terseok melangkah dengan sepatu mangap sebelah. Sepertinya Susan tak sabar lagi ingin segera online dan chatting bersama Angelo. Sesampai di warnet, ruangan lumayan penuh. Percuma saja ruangan ini diberi AC dan pengharum sebab asap rokok mengepul dari beberapa sudut. Susan langsung mendudukan pantatnya di salah satu kursi, langsung tenggelam dalam dunianya di depan komputer. Aku sendiri kurang tertarik untuk mengambil posisi di salah satu meja, sebab sekarang aku sudah bisa mengakses Internet di kantor. Waktu mendengar kabar itu Susan memekik iri. Tapi aku berjanji akan setia menemaninya mengunjungi warnet sebagai balas budi atas antusiasnya memperkenalkanku pada dunia maya. Oh ya, juga membuatkan email.

Susan terus asik mengetukkan jarinya pada keyboard, sementara aku tercenung memandangi seisi warnet yang agaknya tak peduli satu sama lain. Berteman di dunia maya memang mengasyikan. Namun sejauh ini belum ada satupun yang membuatku mabuk kepayang seperti Susan. Mungkin karena aku terlalu jujur, polos atau apalah istilahnya. Kata beberapa teman, kita jangan terlalu jujur di Internet. Semakin pandai kita menipu orang lain, makin hebatlah kita berlaga di sana. Pelajaran itulah yang belum kupraktikkan. Setidaknya aku masih mengirimkan pic diriku sendiri, bukan orang lain. Rasanya mustahil kalau aku harus mengirimkan pic salah satu artis lokal Indonesia dan mengakuinya sebagai diriku pada teman chatku di benua lain. Dia bisa saja mendadak ingin mengunjungi Indonesia dan bertemu denganku. Kalau itu terjadi, apa yang kulakukan? Sungguh bukan seorang penipu ulung kau, Angel. Tak sesuai namamu!

Sampai pukul 9 malam Susan masih semangat di depan komputer. Aku sendiri sudah habis membaca semua majalah, melalap sepiring bakso, dua botol soft drink dan satu butol air mineral. Tubuhku mulai penat, bosan bukan kepalang. Kuhampiri Susan yang matanya nyaris menempel kaca monitor. “Pulang duluan ya gue, San.”

“Hmm… kayaknya mendingan gitu deh. Gue baru aja nemu temen asyik. Namanya Michal, orang Rusia tinggal di Amrik. Tadi gue berantem sama Angelo. Brengsek tuh anak, kirim email kayak gini,” Susan membuka emailnya dan dipamerkan padaku. Hanya kulihat sekejap. Penuh kata makian macam “shit” dan “fuck”. Wow, lumayan banyak menonton film Hollywood juga dia. Menunggui Susan online sama saja menunggu Godot. Tak jelas kapan usainya.

Heran aku mau saja menemani dia. Sebab memang sepulang kerja aku tak punya kegiatan menarik untuk dilakukan. Faktanya Susan kuat online dari mulai matahari terbenam sampai matahari menyingsing. Dia selalu mencari warnet yang buka 24 jam. Pernah suatu kali ia ada di warnet yang hanya buka sampai jam 12, lalu ia merayu penjaganya agar menunggui dia sampai pagi dengan alasan kehabisan bis.

Kalau ada kejuaraan tahan lama online, Susan pasti juaranya. Tunggu dulu, adakah prestasi semacam itu sudah tercatat di Guinness Book of Record? Malam itu kutinggalkan Susan di warnet. Jam menunjukan pukul 10.30 malam sesampai aku di rumah. Sebuah hari melelahkan, membosankan dan garing. Tubuhku langsung ambruk terlelap begitu menyentuh ranjang.


Kehidupan Kantor

Weker menjerit mengagetkan. Jarum menunjuk pukul 6 pagi. Sebuah hari membosankan lain akan segera dimulai. Dengan malas kumelangkah ke kamar mandi. Semestinya sebagai gadis fresh graduate yang baru saja memulai karirnya di sebuah perusahaan besar, aku menyambut hari dengan antusias. Hingga hari ini sudah seminggu aku masuk kerja dan tak setitik pun antusias itu menyelip di benak.

Kantorku sekarang tak banyak beda dengan kampus dulu. Lulusan sebuah universitas negeri terkemuka seperti aku memang agaknya layak saja diterima bekerja pada persuahaan media besar. Tapi kehidupanku juga tak banyak berubah. Kampusku dulu boleh saja hebat, terpandang, bahkan jutaan remaja rela mati-matian belajar demi diterima di sana. Tapi aku selalu merasa sebagai partikel terkecil di komunitas luar biasa yang penuh canda tawa, buku dan pesta itu. Pun demikian halnya yang kurasakan di kantor sekarang.

Kantorku adalah bagian dari gedung berlantai tujuh dengan karywan hampir seribu orang. Sebuah group media raksasa yang dimpimpin pengusaha sukses. Kata teman-teman, aku hebat bisa bekerja di sini. Staf litbang yang berkantor di lantai lima, ruangan paling ujung.

Di ruang ini aku bersama lima staf lain, satu kepala dan dua wakil kepala divisi setiap hari tepekur menekuni tumpukan buku, majalah, koran, tabloid dan komputer. Kerjaku setiap hari adalah mencari data apa saja yang dibutuhkan oleh bagian redaksi. Pencarian data dan informasi ini mengandalkan Internet dan tentu saja situs pencari alias search engine. Sumber lain adalah menghubungi instansi yang bersangkutan, mulai dari lembaga asing, pemerintah atau swasta. Prosedurnya lumayan rumit mengingat memang negara ini kurang familiar dengan pengarsipan data dan dokumentasi. Mencarai semua data yang dibutuhkan tanpa peduli betapa sulit sistem birokrasi yang harus ditempuh, itulah tugasku.

Baru saja menyentuhkan pantat ke kursi, biasanya aku akan diberondong dengan telepon dari bagian redaksi. Isinya perinta seperti, “Carikan data tentang kematian Marsinah, mulai riwayat hidup sampai perjuangannya.” Atau juga “Minta data soal kredit macet bank Mandiri, segera.” Semua perintah datang bagai air bah. Beberapa di antaranya tak memberi batasan jelas data macam apa yang harus dicari. Bayangkan saja kalau ada perintah seperti, “Minta data tentang filsafat etika.” Apa aku harus mengumpulkan semua hasil search engine tentang filsafat etika itu? Sampai dimana batasan aku harus berhenti mencari, apakah sampai deadline usai atau hingga mentari terbit di esok harinya? Tak ada yang menjawab pertanyaan itu.

Situasi kantor sendiri tak banyak beda dengan kampus dulu. Kasak-kusuk di belakang memperbincangkanku seolah aku ini alien atau laba-laba raksasa berkepala manusia. Atau mata yang terkesiap melihatku datang, mengupas penampilanku dari atas ubun-ubun sampai jempol kaki. Tatapan mereka selalu begitu. Terbelalak, aneh, lalu jadi geli dan disusul tatapan dingin di pertemuan selanjutnya. Mereka selalu bergerombol atau berpasangan berdua. Aku sendiri, seperti biasa sejak dulu selalu seorang diri saja.

Susan, karibku sejak kuliah memang sempat mengkritik penampilanku. Katanya aku mirip Velma, salah satu tokoh dalam serial kartun Scooby Doo. Tapi dalam versi yang jauh lebih kurus. Dia pernah mendandaniku dengan gaya masa kini yang katanya funky. Hanya sekali aku berani tampil di muka umum. Selanjutnya kembali ke gaya asal. Tunggu dulu, jangan berpikir aku 100% mirip Velma. Kacamataku tak setebal itu dan rambutku bukan model bob pendek membulat.

Buku dan Persahabatan

Tidak tepat juga aku dibilang kutu buku. Buku memang ada untuk dibaca, bukan? Jadi jangan salahkan aku kalau terus menerus membaca selama masih banyak buku di toko yang belum dibaca. Lagipula buku tak pernah menggunjingiku. Mereka tak pernah mentertawakanku saat anak-anak rambutku di ubun-ubun berdiri menjigrak mirip landak. Atau mendadak aku menabrak pintu kelas karena selalu berjalan menunduk. Buku juga tidak mengataiku culun dan ketinggalan zaman hanya karena aku tak suka nonton konser musik, nongkrong di café atau pakai tank top. Singkatnya, buku adalah sahabat setia penuh pengertian. Jangan salahkan aku kalau selalu membawa buku kemanapun aku pergi.

Tak bisa dibayangkan hidup tanpa buku. Benda itu sungguh ajaib, luar biasa. Berisi ide, cerita hingga teori hasil pemikiran orang yang berbeda-beda. Sangat menarik mengetahui apa yang dipikirkan Sigmund Freud, Hobbes atau Voltaire. Tak kalah menyenangkan menyimak petualangan sel-sel kelabu di kepala Hercules Poirot sampai Sherlock Holmes. Aku juga melahap habis semua buku politik, fiksi, non fiksi, serta penjabaran teori mengenai Tuhan dalam Histpry of God. Semuanya sangat masuk akal dan logis. Membaca buku jauh lebih membahagiakan daripada kita harus berurusan dengan manusia lain dalam bentuk nyata. Kecuali Susan tentunya. Cewek cantik itu beda dengan temanku yang lain. Ia tak pernah menggunjing, menjelekkan dan memusuhi. Heran, padahal ia punya segudang teman cewek dan cowok yang selalu bersedia mengajaknya jalan kapan saja. Tapi Susan lebih suka menghabiskan waktu denganku. Cewek berambut panjang itu akan menyuruhku menutup buku segera begitu ia mendekat. Lalu mulutnya menyerocoskan segala kisah hidupnya mulai dari terbangun di tempat tidur hingga detik ia duduk di sampingku.

Pernah suatu ketika aku tanya kenapa ia yang punya banyak teman lebih suka akrab denganku. Kalau tak salah ia pernah spontan menyatakan aku orang yang sangat easy going, mandiri, kalem, ngga peduli sekitar. Masih ingat betul bagaimana pertamakali Susan menjadi temanku.

Saat itu aku sedang asik menyimak salah satu cerpen dalam antologi “Dinding” karya Jean-Paul Sartre di bangku taman kampus. Mendadak dia membanting pantat di sebelahku. Menggumamkan sesuatu yang aku tak bisa mengerti. Pikiranku masih melayang antara tulisan Sartre dengan dunia nyata. “Malah bengong lagi diajak ngomong! Gue sirik sama elu yang kayaknya punya dunia sendiri, dunia pribadi, sedangkan orang lain pada ngontrak. Nyokab lu dulu ngidam apa, kok bisa-bisanya elu dilahirkan sebagai orang super cuek, easy going? Apa lu ngga pernah punya masalah?” Bibirnya yang belepotan lipstik mencicit seolah dia adalah nenek yang kesal karena cucunya menolak disuapi. Jelas saja aku tercengang luar biasa. Dia bukan orang yang kukenal. Setidaknya tak pernah mengobrol atau menyapa. Bahkan namanya pun ku tak tahu. Tapi dia memang cukup terkenal kurasa. Sering terlihat berada di antara banyak teman dengan dandanan keren. Minimal begitulah penilaian awam mengenai definisi keren itu tadi.

Sejak kejadian di taman itu cewek yang kelamaan kutahu bernama Susan mulai sering mengiringiku. Waktu aku membuka bekal makan di tepi kolam misalnya, mendadak dia duduk di sebelah sambil menawarkan soft drink. Beberapa kali tak kupedulikan. Tapi kelamaan dia sering curhat, menceracau tak keruan sehingga mau tak mau aku menyimak setiap kisahnya. Singkatnya, ia menganggap aku manusia eksenNjelk. Katanya tampangku tak pernah berekspresi. Kalem, tenang, cool. Dia bilang semua teman pernah menggunjingkan tentang sepatu botku yang mirip pedagang ikan basah di pasar Inpres. Tasku juga persis tukang petik daun teh di Puncak. Semua orang sering memperolok, mentertawaiku terang-terangan tanpa tedeng aling-aling. Tapi menurut Susan aku begitu cuek dan cool.

Saat semua mahasiswa hebih karena uang semester naik atau ada teman yang mati tertembak dan kampus sempat rusuh karena demo, aku seolah tak peduli. Wajahku tetap saja datar tanpa ekspresi. Itu yang membuat Susan penasaran. Lebih dari itu Susan sempat berkata, “Elu ngga jahil kayak mereka. Rahasia gue semuanya aman sama elu. Lagian gue juga sudah bosan bergaul hura-hura ngga jelas sama pecundang itu.”

Hei, dia menyebut orang-orang keren itu pecundang. Bukankah itu lucu? Selama ini akulah yang selalu merasa sebagai pecundang. Aku yang katanya punya selera mode ketinggalan dua dekade dari sekarang. Yang benci membaca majalah fashion atau mendengar musik pop. Lebih suka berkutat di perpusatakaan saat semua penghuni kampus berjingkrakan menonton konser musik. Yah, mau bagaimana lagi. Buku memang hidupku. Di samping Susan dan nenek tentunya. Dua orang yang punya frekuensi paling banyak berkomunikasi padaku setiap hari.

Sayang, sejak bekerja di pusat litbang ini aku jadi jarang baca buku. Lebih banyak tepekur di depan monitor komputer. Thanks God ada banyak situs menarik di Internet. Merekalah buku-buku virtualku. Penghibur di sela kejenuhan kerja. Dalam sehari aku bisa mengeklik puluhan bahkan ratusan situs. Mulai situs berita seperti BBC, Reuters, CNN, ABC, hingga yang berat seperti Newscientist, Space, National Geographic, Scientific America, dan banyak lagi.

Julukan di Kantor

“Woi, kacamata lu bisa nambah tebel jadi kayak pantat botol, Njel!” Begitu Didi teman sebelah mejaku menegur kalau aku sudah asik tenggelam dalam satu situs. Ah, tahu apa dia soal aku? Memangnya dengan mengurangi intensitas browsing maka teman kantor lain akan menjadi bersahabat denganku? Sama sekali tidak.

Teman kantorku sama saja dengan teman di kampus dulu. Sepasukan penggunjing yang hobi mencela orang lain tanpa peduli orang itu adalah manusia yang punya panca indra. Kalau dulu aku dijuluki Velma, maka di sini aku dipanggil Nyonya Bill Gates. Alasannya, aku berkacamata dan berponi mirip bos Microsoft itu. Lebih dalam lagi, aku memang lebih suka berteman dengan komputer daripada mereka.

Hei, bukan salahku kan kalau aku lebih banyak menghabiskan waktu istirahat di meja saja? Jam makan siang di saat semua berebutan keluar ruangan justru kumanfaatkan untuk membuka bekal dari rumah. Mengunyah makanan di depan komputer itu asik sekali. Jauh lebih asik daripada harus makan bersama-sama dengan kelompok penggunjing itu, meciap-ciap seperti anak ayam berebut cacing.

Bukannya aku tak pernah berusaha membaur dengan mereka. Hari pertama aku sudah berusaha akrab, memberi senyuman dengan harapan bisa berteman. Namun sambutannya dingin-dingin saja. Aku tahu, selalu ada gap senioritas di setiap komunitas. Tapi memperolok penampilan secara terus terang di depan mukaku sama sekali tak bisa ditolerir.

Itu terjadi di suatu pagi setelah deadline usai. Kepalaku seperti dibebani berton-ton batu sesudah berkecamuk dengan aneka search engine untuk mengumpulkan aneka data dari meja redaksi. Jadi aku merasa berhak menundukkan kepala barang sebentar, menggelesot di atas meja. Ruangan ini terdiri atas sekat-sekat kubik yang kalau kita menunduk tidak akan terlihat dari kubik lainnya. Jadi Norma, seniorku yang ada di seberang kubikku mengira aku sedang ke toilet atau kemana saat ia dengan lantang berujar, “Anak baru yang kampungan itu kemana? Gue ngga liat dia keluar. Heran, dimana sih dia potong rambut?”

Telingaku langsung berdiri tentu. Lalu disambut suara lengkingan lain, “Kali emaknya sendiri yang motongin rambut. Lu tau baskom? Ditudungin ke kepalanya, trus tuh rambut digunting sesuai cetakan baskom.” Tawapun berderai dari seluruh pejuru ruangan.

“Belum lagi sweaternya itu, mana tahan. Gini hari masih pake sweater model rajutan nenek-nenek gitu?”

“Celananya dong, beggie ala tahun 80-an! Bener-bener udik tuh anak.”

Telingaku panas sekali, rasa panas itu merambat ke kepala sebentar, lalu menyebar ke hati dan seantero organ tubuh. Tak tahu harus tetap diam menunduk atau segera mengangkat wajah atau sebaiknya menghambur keluar. Yang ada aku hanya mematung dengan hati membara. Sungguh sekumpulan serigala liar tak beradab yang senang mengiyak-ngoyak harga diri! Aku berusaha sekuatnya untuk tenang. Ini bukan yang pertamakali kualami seumur hidup. Dulu di sekolah dan kampus juga sudah pernah. Hanya terkejut saja. Kukira manusia itu bisa dewasa seiring usia. Pada level dunia kerja semestinya mereka bisa sedikit lebih respek terhadap keberadaan manusia lain. Hari itu kusadari bahwa manusia tidak pernah menjadi dewasa seumur hidupnya. Barangkali memang hanya aku saja yang bisa dewasa di muka bumi ini.

Jadi kuangkat perlahan kepalaku. Langsung disambut dengan suara, “Ups, orangnya ada! Jadi dari tadi dia di dalem?” Disusul suara bisik-bisik sana-sini.

Sejak itu aku membeli speakerphone untuk mendengarkan musik melalui MP3 dari Winamp. Ini andalanku untuk meredam semua kicauan para serigala berbulu manusia itu. Aku juga sama sekali tak berusaha berbasa-basi dengan mereka. Hanya berkomunikasi secara profesional saja. Sesekali Didi atau Heru masih mau menyapaku sekadar say hello atau bye. Tapi sisanya sungguh gerombolan alien biadab.

Memang apa salahnya aku pakai celana beggie? Apa itu merugikan mereka? Lalu sweater ini sah sa ja kupakai mengingat AC di ruangan ini dipasang tepat di atas kepalaku. Bahkan aku sebenarnya butuh topi untuk melindungi kepalaku. Kalau menuruti kata hati, aku ingin memakai mantel hujan lengkap dengan tudungnya selama bekerja. Bisa dibayangkan Norma atau Lisa akan terpekik histeris memanggil sekuriti untuk menyeretku ke rumah sakit jiwa atau justru UGD.

Sudahlah. Siapa butuh mereka? Aku hanya butuh komputer dan koneksi ke Internet, titik. Habis perkara. Jadi sejak pukul 9.00 pagi teng aku melangkah menuju bilikku dan sampai pukul 17.00 baru keluar dari sekat sialan itu. Thanks God ada Internet sebagai duniaku. Yeah, aku sudah menemukan duniaku di sana!!!


Malam itu aku menyeret tubuh ke tempat tidur. Mataku berkedutan lelah. Delapan jam lebih di depan komputer. Begitu melihat dunia nyata rasanya dunia maya yang tadi kujelajahi hanya mimpi sekejap saja. Aku baru saja memikirkan hendak ikut milis pecinta sastra. Sepertinya seru, saling diskusi ihwal bacaan bermutu. Dan tentu saja berkenalan dengan banyak orang yang tidak perlu bertemu fisik. Cukup saling berkirim email mengutarakan opini tentang satu buku yang kita suka, lalu akan dibalas dengan komentar member milis lainnya. Tak ada perjumpaan fisik yang membuat mereka tahu tentang kacamata tutup botolku, sweater rajutan nenek atau poni culun. Tidak ada pula yang mengharuskanku mengikuti fashion baju terkini, memakai tata rias aneh yang membuat mata seperti habis ditonjok tentara, dan sejenisnya. Yang kutemui hanya nama-nama yang entah asli atau bukan, sungguh tak peduli. Alamat email unik-unik, menarik untuk ditebak. Tentu mereka tidak sebengis semua temanku di kampus dulu atau di kantor kini. Besok aku akan mulai mendaftar.

Tiba-tiba pintu diketuk. Suara nenek terdengar pelan, “Njel, belum tidur? Ada telepon dari Susan.”

Nenek? Jangan kaget dulu, sejak kecil aku memang tinggal dengan nenek tersayang. Dulu bersama kakek, tapi dia sudah meninggal lima tahun lalu. Yah, kau bisa berpikir bahwa memang benar sweater yang kupakai ke kantor, yang jadi subyek olok-olok teman kantorku itu, memang betul hasil rajutan nenek tersayang. Hadiah ulang tahun ke-17. Masih bagus dan tetap kupakai serta akan tetap kupakai sampai semua benang wolnya brodol.

Sahabatku semata wayang, Susan, jarang menelepon. Lebih sering berkirim email. Berarti ini hal penting.

“Ada apa, San?”

“Hei Velma, jam segini udah bobo?”

“Kalau manggil gue pake nama itu lagi, gue tutup nih telepon.”

“Tambah sensitive lu ya sekarang. Kebanyakan nyari data? Hehehe. Gimana kabar lu? Masih belum punya temen di kantor?”

“Memang gue bisa punya temen selain elu?”

“Udah ngga usah dipikirin. Minggu depan gue ke Jerman. Kaget kan lu?”

“Sama Mark bule yang lu certain di email? Ini cuma janji gombal lagi ya?” …

(lanjutkan dialog sesuai naskah asli—disingkat di sini untuk menjaga alur dan panjang bacaan di halaman)


Sebuah pagi di hari yang lain. Mulai pukul 9.00 teng aku sudah menjelajah dunia maya berkendaraan Firefox. … (paragraf-paragraf sesuai naskah, tanpa perubahan isi; pemenggalan hanya untuk keterbacaan)

The Conscience of a Hacker — The Mentor (1986)

The following was written shortly after my arrest…

//\The Conscience of a Hacker//
by
+++The Mentor+++
Written on January 8, 1986
=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=
Another one got caught today, it’s all over the papers. “Teenager
Arrested in Computer Crime Scandal”, “Hacker Arrested after Bank Tampering”…
Damn kids. They’re all alike.

But did you, in your three-piece psychology and 1950’s technobrain,
ever take a look behind the eyes of the hacker? Did you ever wonder what
made him tick, what forces shaped him, what may have molded him?
I am a hacker, enter my world…
...
You may stop this individual,
but you can’t stop us all… after all, we’re all alike.

+++The Mentor+++

Wow, sungguh sebuah manifesto mengagumkan. Membacanya membuatku lebih merinding daripada menyimak teks proklamasi kemerdekaan atau Pembukaan UUD 45. Bahkan lebih menggejolak ketimbang mendengar Nikka Costa melantunkan First Love di zaman SMP dulu. Seperti sebuah representasi, perwakilan dari apa yang selama ini ingin keluar dari isi kepala dan hati tapi tak tahu bagaimana mengungkapnya. Ibarat pernyataan cinta dari seorang lelaki yang sudah lama kutunggu. Yes, I am a criminal. My crime is that of curiosity. My crime is that of judging people by what they say and think, not what they look like. My crime is that of outsmarting you, something that you will never forgive me for. Simak betapa dahsyatnya kalimat-kalimat itu. Selama ini orang selalu menilai dari apa yang mereka lihat, bukan mereka katakan dan pikirkan. Itulah yang kubenci. Apa salahnya dengan menilai orang secara sebaliknya? Itulah yang selalu kulakukan, berharap orang lain juga melakukannya di dunia nyata. Tapi tak pernah kudapat. Di dunia maya lah semua berlaku sebaliknya. Tak peduli seperti apa fisikmu, warna kulitmu, agamamu, rasmu. Kau adalah manusia di balik keyboard yang mengetikkan kata demi kata yang merepresentasikan pikiranmu. We exist without skin color, without nationality, without religious bias… and you call us criminals. You build atomic bombs, you wage wars, you murder, cheat, and lie to us and try to make us believe it’s for our own good, yet we’re the criminals. Mengapa semua itu harus dituduh sebagai sebuah kejahatan? Bukankah pemikiran rasialis materialis lah yang justru serangkaian kriminalitas sepanjang sejarah umat manusia di muka bumi? Oh God, I really like these ideas! Siapa itu The Mentor? Ia bahkan sudah membuat manifesto itu tahun 1986! Tahun itu aku masih sibuk bermain layang-layang atau membaca majalah Bobo. Bahkan tak pernah bermimpi akan ada temuan bernama komputer atau Internet. Biarkan aku bergabung dengan The Mentor dan teman-temannya! Aku benci dunia nyata yang menjijikan ini. Betul kata Susan, manfaatkanlah Internet. Tapi pemikiranku beda dengan satu-satunya sahabatku di dunia nyata itu. Ia boleh saja memakai Internet sebagai jalan mendapatkan koneksi ke luar negeri untuk memperbaiki nasib. Tidak, sama sekali berbeda. Tidak akan pernah kumanfaatkan dunia maya tercinta ini untuk lari ke belahan dunia nyata lainnya. Justru aku ingin melebur ke dalamnya. Menyatu. Sampai tak perlu lagi berurusan dengan dunia nyata. Selamanya. Thanks, Susan. Kamu sudah memperkenalkan aku dengan dunia ini! Yeah, this is my world!

Tidak ada yang lebih membuatku semangat daripada berangkat ke kantor. Kini aku berangkat satu jam lebih awal. Maka saat menginjakkan kaki ke kantor, yang kujumpa hanya petugas cleaning service yang masih sibuk bersih-bersih atau office boy yang memunguti gelas kotor. Kutekan tombol “Power” pada CPU. Monitor kunyalakan. Internet di sini terkoneksi 24 jam non stop dengan ADSL. Yahoo Messenger secara otomatis langsung aktiv. Ada alert 4 email baru di Inbox. Tiga email dari milis Kutukutubuku, satu dari Cecurut. Menarik. Kuklik email Cecurut bersubject “Joint us at mIRC”. Isinya ajakan untuk ikut masuk dalam chat room mIRC. Aku jadi tersenyum sendiri ingat Susan yang mengajariku pertamakali chatting di mIRC. Bedanya kali ini channel yang dipakai adalah #CurutHack. Kubuka situs http://www.mirc.com, lantas menginstalnya ke PC. Proses berjalan cepat, kemudian muncul aikon mIRC yang khas itu di layar monitor. Dengan lincah jariku menari di atas keyboard dan mouse. Ketikan nickname, email palsu, nickname alternativ, lalu pilih server Dalnet. Dan klik panel “Connect to Server”. Masuklah aku ke channel #CurutHack. “Welcome 2 this room. This channel operated by bot. This is a resNjelcted area. Don’t invite anybody you don’t know well, ‘cuz we don’t like spy.” Hmm, sambutan yang lumayan menarik. Menandakan chatter di sini memang orang-orang pilihan. Ada setidaknya 200-an nickname di channel itu. Aku pakai nama Angel^-^ sebab tak ada ide untuk pakai nama lain. Percakapan di channel lumayan meriah. Hi all, how r u? Hi 2, Angel. Fine here. Hi juga Njelx. Baru gabung ya? Yup. Siapa ya yg invite aku ke sini? Bot lah pasti. Semua miliser baru pasti otomatis diajak ke sini. Just wanna know, r u all hackers? hehehe ??? Tak ada jawaban. Kemudian di taskbar sebelah kiri ada nickname merah berkedip. Seseorang mengirim PV. hi hi juga, asl pls 24 m jkt, u 23 f jkt what u know about hacker, Njelx? not much.Just read the manisfesto.That’s great. apa yang kamu dengar orang bilang tentang hacker? hmm…yg jelek2 pastinya.Tukang acak program PC.Bobol jaringan.Kind like that… u trust them? not really.semua tindakan pasti ada alasan. nice answer! Like it! ups, sorry sandman, saya di kantor sekarang, Ngga berasa udah jam 8. Mulai rame kantor. kamu kerja?di bagian apa? RND staf cool.ngga banyak orang seberuntung kamu! kamu gimana?kerja?kuliah? ngga dua2nya. justru enak.Ngga kerja, ngga kuliah, bisa tetap dapet akses net hehe who invite me 2 the milis ya? dunno.mereka invite siapa aja yg aktiv di banyak milis.mungkin salah 1 temenmu. temenku di net lebih banyak daripada di real world. really?why? orang di net lebih asik daripada di real world. kenapa bisa gitu? entah.aku juga heran. Kantor benar-benar mulai ramai. Atasanku berjalan ke arah mejaku. Hatiku berdebar kencang. Layar mIRC sudah di-minimize, tetap saja aku takut ia tahu apa yang kulakukan. “Mana kerjaan kemarin?” Tangannya menjulur ke wajahku. My God! Data CITES itu belum ku-print out! Cepat kubuka disk C, kucari di folder kemarin. Thanks God data file itu aman di sana. “Njelana, kamu sudah kerjakan tugas kemarin?” “Su..sudah bu, hanya belum di-print out.Sebentar saya print,” aku bergegas ke printer di ujung ruangan. Hatiku berdegup kencang, takut perempuan gendut itu melihat layar monitorku. Aku bekerja seperti orang gila. Printer itu bekerja lama sekali. Tidak, atasanku mengamati meja kerjaku, lalu tangannya seperti sibuk melakukan sesuatu. Aku seperti membeku di depan printer yang jaraknya sekitar 10 meter dari komputerku. Cepatlah ia pergi dari sana, biar kuantar data itu nanti ke ruangannya, begitu batinku. Kertas hasil print mulai keluar satu demi satu. Atasanku tak jua beranjak dari sana. Kini kepalanya melongok ke layar komputer! Apa dia membuka program mIRC?Membaca pesan Sandman2500? Aku akan segera dimarahi! Yeah, dia menuju kemari! Dengan mata membelalak seperti beruang lapar melihat mangsa. Aku hanya rusa kurus kecil tak berdaya di depan mesin printer sialan ini. “Kalau sudah, segera antar ke ruangan saya!” Suaranya menggelegar bagai petir menyambar. Syukurlah ia tak menyebut tentang mIRC. Baru aku bisa bernapas lega. Aku berlari ke mejaku. Kulihat nama Sandman mengedip-ngedip merah. r u there? sorry berat, tadi bosku kemari.aku harus mem-print out kerjaan dulu. BRB!

mIRC dan Milis CecurutHack

Sejak kembali aktif di chat room mIRC, pekerjaanku banyak yang tertunda. Mencari data kulakukan sekaligus dengan chatting di mIRC, Yahoo Messenger, membuka milis, email, browsing, mengangkat telepon, menyusun statisik, dengar musik. Jam makan siang semuanya tetap kulakukan, hanya dengan tambahan aktivitas menyendokkan maanan ke mulut. Betapa mengasyikan berteman dengan mereka para Cecurut ini. Aku juga sudah mejadi bagian dari mereka. Pelan-pelan aku jadi tahu apa itu hacker, Open Source, Free Software, dan sejenisnya. Beberaa mencoba mengajariku bagaimana menembus jaringan komputer, membobol email dan server. Sayang aku tak punya waktu luang untuk mencobanya.

Etika Hacker dan Informasi Bebas

Yang menarik dari kaum Cecurut adalah prinsip mereka yang menyatakan bahwa semua informasi harus bisa didapat gratis oleh siapa saja. Ini adalah bagian dari kode etik hacker yang disarikan dari buku “Hackers: Heroes of The Computer Revolution” karya Steven Levy terbitan tahun 1984. Aku juga sangat setuju pada prinsip bahwa akses ke sebuah sistem komputer, dan apap saja yang dapat mengajarkan mengenai bagaimana dunia bekerja, haruslah tidak terbatas sama sekali. Tidakkah ini memang keadilan bagi semua orang? Terlebih pada aku yang memang bekerja mencari data dan informasi? Bisa dibayangkan betapa menyebalkan kalau kita harus terbentur pada prosedur formal saat memerlukan sejumlah data penting untuk keperluan referensi jurnalistik. Tidak cukup hanya mengangkat telepon, berbasa-basi. Sering aku harus dioper dari satu nomor telepon ke nomor lain, kemudian diberi nomor faksimili, diharuskan menulis surat proporsal kepada Tuan Anu, baru kemudian menunggu jawaban, mengangkat telepon lagi dan menunggu lagi. Luar biasa peliknya proses yang harus kulakukan demi mendapat kadang selembar data saja dari suatu instansi. Padahal, siapa sih yang mau memanfaatkan data remeh seperti itu untuk tujuan negatif? Seperti data statistik peserta vaksinasi cacar per wilayah di Indonesia. Amit-amit susahnya untuk diminta. Kalau dipikir, apa sih vitalnya data seperti itu? Memangnya keamanan negara akan terancam kalau data sialan tadi tersebar ke publik? ambil saja data yang kita butuhkan tanpa minta izin bukankah itu namanya mencuri? mencuri adalah kalau data mereka jadi hilang karena kita ambil. Ini tidak. Kita hanya men-copy saja. Tak ada yang dirugikan. hmmm betul juga. Masalahnya, ngga semua data instansi di Indonesia ini tersimpan di komputer. Lebih banyak di dokumen cetak. tidak semua. Ada yang sudah terkomputerisasi. Betul, semua data dan informasi memang harusnya tidak dibatasi. Kalau kita berhasil membobolnya lalu men-copy-nya, maka itu bukan pencurian. Tak ada yang dirugikan. Apalagi kalau teknik yang dipakai untuk menerobosnya sama sekali tak merusak program apapun. Lalu, mengapa hacker sering dikambinghitamkan sebagai pelaku aneka kejahatan di komputer? Padahal Richard Mansfield dalam tulisannya di Hacker Attack,definisi hacker adalah orang yang memiliki keinginan untuk melakukan eksplorasi dan penetrasi terhadap sebuah sistem operasi dan kode komputer pengaman lainnya, tetapi tidak melakukan tindakan pengrusakan apapun, tidak mencuri uang atau informasi. Jadi tak ada salahnya kalau kami menerobos suatu sistem keamanan, melihat sebentar apa yang ada di dalamnya, kemudian keluar lagi. Tidak, aku tidak akan mencuri apapun.

Stallman dan GNU

Kian banyak kusimak mengenai kaum yang menamakan dirinya sebagai The Undergrounder ini, kian muncul rasa salut. Salah satu nama yang kusaluti tiada habis adalah Richard Matthew Stallman alias RMS. Lelaki kelahiran 16 Maret 1953 itulah yang pertamakali merintis ide gerakan free software yang diberi nama GNU Project. RMS menggalakkan kampanye politik penggunaan software bebas biaya lisensi. Ia juga yang menulis Hacker’s Dictionary yang sayang tidak kutemui di toko-toko buku di Jakarta. Dari semua tulisan di situs-situs luar kutangkap bahwa hacker sangat berbeda definisinya dengan yang ada di berita. Hacker sepengertianku adalah orang-orang yang terus mengembangkan program komputer tiada henti berdasar prinsip “portable software”. Yang terakhir ini adalah ide dari Stallman juga untuk mencipakan software yang bisa dipakai pada beragam jenis komputer. Orang yang terus memperbarui dan memodifikasi program, mengeksploitasi sistem keamanan, mengujicobanya, itulah yang mereka sebut hacker. Kalapun ada kasus kriminal seperti carding, merusak sistem dan mencuri data, maka itu hanya sebagian kalangan hacker yang berkarakter negatif. Uniknya, tiap kali ditanya mereka tidak pernah mau mengaku dirinya sebagai hacker. Lebih suka dibilang sebagai “computer freak”, “nerd” atau “programmer” saja. bukan. Saya cuma suka ngoprek kompi aja.” pengen sekali dibilang hacker. Tapi sebutan itu cuma pantes buat Torvalds, Stallman dan barisannya. Kami sih cuma cecurut. Gates sebenernya juga hacker, hanya dia sudah komersil, jadi borjuis. Hacker borjuis, hahaha!

Revolusi Digital

Lama sekali aku tak dengar istilah borjuis disebutkan. Kapan ya pernah kudengar seseorang menyebutkannya? Sangkakala. Ya, dia kerap sekali mengutarakan istilah-istilah seperti borjuis, kapitalis, sosialis dan revolusi. Di dunia maya revolusi itu tak pernah terjadi. Namun di sini, di Internet, pelan-pelan revolusi berlangsung, tidak kenal batas negara. Inilah revolusi digital, dengan tujuan menumbangkan dominasi keangkuhan birokrat, kapitalis seperti Gates, dan karakter manusia yang paling kubenci, yakni menilai segala sesuatu dari tingkat jabatan, kondisi fisik dan fashion. Revolusi di dunia nyata memang sangat sulit karena terlalu banyak yang harus ditumbangkan. Belum lagi militer bersenjata, kekuatan politik dengan pendukung massa yang gelap mata. Diperkuat lagi dengan aturan hukum yang bisa dengan mudah menjerat siapa saja. Pengkotak-kotakan dunia atas nama negara memang seolah sengaja dibuat untuk mengukuhkan kedudukan raja-raja kecil di tiap wilayah. Inilah yang tak ada di dunia maya. Tak ada hukum, polisi, militer, raja, massa yang marah, atau senjata. Di sini setiap manusia hanya diwakili oleh nickname, alamat email, foto diri yang bisa dimanipulasi seenak perut, dan tentu saja kepiawaian teknis dan komunikasi. Begitu kau masuk ke dalamnya, berbaur dalam komunitas ini, maka kau ada. Kau diakui. Tak peduli ras, agama, jabatan, kekayaan materi, juga apakah gaya berpakaianmu cukup fashionable atau ketinggalan zaman. Yang membuatmu diakui di sini bukan itu semua, melainkan seberapa mahir kau berkomunikasi, membagikan informasi. Bagi mereka yang memang “computer freak”, jago membuat program , mengoprek PC, itu lebih mudah lagi. Aku belum sehebat itu. Jadi modalku hanya rasa keingintahuan. Milis CecurutHack itu lebih banyak berisi posting tentang pertanyaan teknis seperti bagaimana menginstall Red Hat, meng-up grade program lama dan sejenisnya. Aku benar-benar buta pada itu semua sampai ketika suatu saat seorang teman menjelaskan. Pada dasarnya milis ini merupakan forum bagaimana para programmer, ahli keamanan jaringan serta para pengoprek komputer lainnya saling berbagi pengetahuan, pengalaman, juga ide-ide cemerlang. Seperti saat Croc0dilluz menemukan cara paling aman mengeset Firewall versi baru yang dikembangkannya, Juga bagaimana menemukan kembali password email yang dicuri orang. Ada juga kenakalan seperti bagaimana membuat nomor Internet Protocol (IP) tak bisa terlacak saat chat di mIRC, mengakali teman chat, dan sejenisnya. Perlahan aku jadi tahu sedikit tentang apa itu SQL Injection, mencari vulner dalam sebuah website, pokok-pokok deface alias mengganti tampilan website. Semuanya berjalan begitu saja. Tanpa perlu formalitas rumit, merogoh kocek, semuanya serba gratis. Informasi dan ilmu itu mengalir, merangsek ke dalam otak juga benak. Memang menurut para penganut aliran teknorealis, Internet tidak bisa disamakan dengan bangku sekolah. Segala informasi yang bisa kita reguk dari dunia maya tak bisa disamakan dengan pendidikan formal. Tetap saja orang butuh sekolah, sebab sekolah itu sendiri bukan semata arus ilmu serta informasi yang mengalir deras. Ada juga golongan yang agak antiteknologi, selalu menuding hal-hal buruk mengenai kebebasan informasi. Internet dituding sebagai media yang hanya memperlancar arus pornografi, terorisme, pembunuhan karakter, fitnah, banyak lagi. Belum lagi kasus cybercrime yang banyak menyalahkan para pengoprek program komputer. Bagiku, Internet adalah dunia sarat informasi, pengetahuan, data, teman-teman baik hati yang sudi membagi ilmu tanpa pamrih. Hobiku membaca buku pun bisa tersalurkan di dunia indah ini. Banyak literature yang bisa dibaca tanpa mengeluarkan sepeser rupiahpun. Informasi ini juga kudapat dari teman dunia maya.

Literatur Gratis dan Proyek Gutenberg

Kamu suka baca? Suka banget! Banyak buku yang bisa di-download gratis di net. Really? Dimana aja? Check it out. http://www.underground-book.com dan http://www.rheingold.com .Hope u like it  Mulanya aku tak percaya ada orang yang mengiklaskan tulisannya dibaca cuma-Cuma. Bukan tulisan asal jadi, melainkan buku-buku yang juga dicetak, diterbitkan, dijual secara komersil. Mereka membuat versi elektroniknya, bisa diakses bebas oleh siapa saja, di-download, digandakan, diprint-out, dibaca begitu saja. Bahkan siapa tahu buku itu digandakan besar-besaran lalu dijual kembali di luar sana? Tapi si penulis murah hati itu sungguh tak peduli. Sungguh konsep copyleft yang luar biasa. Suellete Dreyvus, penulis Underground tidak menulis buku tersebut hanya berdasarkan khayalan belaka. Ia membutuhkan waktu tiga tahun untuk riset, menulis dan mengedit buku yang nyaris setebal 500 halaman itu. Namun ia dengan sedemikian murah hati mengizinkan siapa saja membacanya dengan gratis di Internet. Apa pasal? “Bagian kegembiraan dari menciptakan seni adalah agar bisa dinikmati banyak orang. Tidak semua orang bisa mengeluarkan uang 11 dolar AS untuk membeli sebuah buku. Tidak terkecuali para hacker. Buku ini tentang mereka, hidup mereka, dan obsesinya. Undergound ini milik dunia maya,” begitulah Dreyvus berargumen mengapa ia mengratiskan saja buku yang dibuatnya dengan susah payah itu. Ia bahkan mengaku cukup bangga ketika seorang teman berkisah melihat ada pemuda yang membaca buku Underground dalam versi print-out kasar dari komputer di atas bis. Itu menandakan bahwa buku Dreyvus memang diminati banyak orang kendati orang itu tak harus membelinya. Ia juga merelakan saja kalau tulisannya itu digandakan, dicetak dan dikirim atau bahkan dijual ke orang lain. Dreyvus juga tak peduli dikritik dan disebut subversif. Menghadirkan buku-buku konvensional dalam bentuk data elektronik merupakan misi dari sebuah proyek bernama Proyek Guttenburg. Di sini mereka meng-elektronik-kan banyak sekali buku yang selama ini dijual komersil di dunia nyata. Proyek Guttenburg memungkinkan orang yang suka membaca tak harus merogoh kocek untuk membeli buku bermutu. Tentu saja ini sebuah pencerahan bagi kutu buku maniak seperti aku. Tahu sendiri kan, di Indonesia harga buku masih bisa dikatakan relatif mahal. Apalagi buku-buku impor. Bisa bangkrut dalam sekejap kalau aku harus membeli semuanya. Sayang, tidak semua buku yang bagus sudah bergabung dengan Proyek Guttenburg. Beda dengan kebanyakan buku tentang teknologi informasi yang berdedar di toko-toko buku Indonesia, buku karya penulis luar jauh lebih komunikatif dan beragam temanya. Buku teknologi di Indonesia mayoritas adalah model buku “how to” yang sarat dengan petunjuk teknis seperti bagaimana mengaplikasi jaringan Warnet, membangun jaringan komputer kantor, cara membuat website dan sejenisnya. Buku seperti karya Dreyvus tadi lebih menyoroti interaksi manusia dengan teknologi dalam hidup sehari-hari.

Dear Angel,
Benar memang kalau buku-buku IT kita lebih teknis sifatnya. Ini disebabkan masyarakat kita memang masih dalam taraf pembelajaran teknis. Jadi jangan salahkan kalau lebih banyak buku jenis “how to” di luar sana. Kelak suatu saat akan lahir buku-buku seperti yang kamu maksud.
Cheers,
Morph3us.

Mungkin memang begitu kenyataannya, Morp.


Mimpi tentang Sangkakala

Pernahkah kau mengalami semacam penglihatan ke masa depan? Percaya atau tidak, itulah yang tak sengaja kualami. Malam setelah pikiranku berkecamuk dengan revolusi di dunia maya dan nyata, aku mengalami mimpi aneh. Sangkakala datang menemuiku di mimpi itu. Sosok yang sudah lama tak kujumpa. Sosok yang isi kepala dan pemikirannya lebih melekat di hatiku ketimbang keindahan fisiknya. Sosok yang datang pergi sesuka hati. Aku sedang berdiri di tengah gurun pasir, diterpa kehausan luar biasa. Dari jauh kulihat oase menunggu minta diteguk. Berlari kumenuju ke sana. Di situlah kujumpai cowok dengan kaus bergambar Che Guevara. Kepalanya diikat dengan kain putih bertuliskan REVOLUSI warna merah. Sangkakala. Ia tersenyum. Tapi bisa jelas kulihat di tangannya yang terkepal ke belakang memegang pisau. Dan pisau itu dihunuskan padaku. Mimpi aneh. Wajah cowok itu tak jelas betul, namun aku yakin ia Sangkakala.

Pertemuan dengan Sangkakala

Esoknya, dalam perjalanan pulang ke rumah saat menunggu bus di halte, muncullah ia. Seperti sebuah fantasi, cerita di novel picisan atau komik lucu saja. Malamnya bermimpi, esoknya bertemu. Hanya di dunia nyata Sangkakala tidak mengenakan kaus Che. Tanpa ikat kepala pula. Ia berkemeja biru tua rapi dengan celana kain hitam. Rambutnya juga rapi. Di bahu tergantung ransel. Tipikal karyawan kantoran yang masih mau tampil ala mahasiswa. Aku sama sekali tak menyangka ia adalah Sangkakala. Sampai kemudian ia menghampiriku dengan tatapan berkerut, menambah matanya yang memang sudah menjorok ke dalam kian lenyap saja. “Njel?” Ia menyebut namaku ragu-ragu. Aku terhenyak dari lamunan. Siapa memanggilku di tengah kerumunan penunggu bis? Aneh ada orang yang mengenalku. “Njel, anak sastra angkatan 1997, kampus Depok?” Kembali ia memastikan identitasku. Oh, bagaimana mungkin aku melupakan cowok satu ini? Satu-satunya cowok yang pernah kumimpikan seumur hidupku! “Sangkakala!” Aku terpekik pelan tak percaya. Kami berdua pun tertawa bersama. “Ngga salah lagi! Cuma kamu yang manggil aku pakai nama itu!” Ia menunjuk wajahku. Hati ini girang bukan kepalang. Ia ingat namaku! Ia bahkan ingat kebiasaanku! Ia yang popular, banyak teman, digandrungi cewek sekampus, aktivis terkenal. Bagiku ini seperti kehormatan. Luar biasa. Aku tak mampu berkata-kata lagi. “Kamu kerja, Njel? Dimana? Dekat sini?” Ia memberondongku. Aku hanya tersenyum mengangguk-angguk seperti petani miskin berpakaian compang-comping yang disapa presiden. Terbisu dikunci kebahagiaan tak terkira. “Kerja dimana?” Kurasakan tangannya sedikit mengguncang bahuku. Barangkali ia gemas, kesal karena aku tak jua menjawab pertanyaan. Kubernarkan kacamataku yang melorot ke bawah hidung. “Di situ,” kutunjuk gedung besar di seberang sana. “Wow, di situ? Di lantai berapa? Bagian apa?” “Lantai 5, staf litbang,” kujawab cepat. “Hebat, hebat, “ Sangkakala menepuk-nepuk pundakku seperti seorang guru memuji muridnya. Aku masih terpaku tak percaya. Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan kami. Sangkakala seperti berteriak ke arahnya. “Sorry Njel, jemputan datang. Besok-besok ketemu lagi ya!” Ia pun bergegas meninggalkanku. Masuk ditelan mobil tadi. Pergi. Hilang begitu saja. Senyumku pelan-pelan memudar menjadi lamunan. Begitu cepat pertemuan itu lalu berpisah begitu saja. Lantas apa arti mimpiku semalam? Pisau itu? Ikat kepala REVOLUSI itu? Tak ada. Mungkin hanya karena aku selalu terpaku pada satu laki-laki. Sangkakala. Sejak itulah setiap hari aku celingukan di tempat pertemuan tak sengaja dengan lelaki itu. Mirip maling jemuran yang memeriksa apakah ada pakaian yang layak dicuri. Kadang aku berlama-lama di pinggir trotar itu, berpanas-panas di pagi hari sewaktu baru datang. Sorenya kembali menengok kiri kanan mirip jerapah mencari dahan untuk dimakan. Malamnya selalu saja sulit pejamkan mata mengkhayalkan sosok Sangkakala-ku. Sungguh kebodohan tiada tara.

Surat dari Susan

Dear Angel,
Gue kasihan banget sama elu. Tapi akan gue usahakan cari info tentang cowok itu. Kebetulan gue ikut milis alumni kampus. Elu sih dari dulu gue ajak ikut ngga pernah mau. Sekarang, giliran ada masalah begini, gue juga yang elu repotin. Tapi gue jadi bingung, mesti nanya gimana sama anak-anak milis tentang dia? Dari dulu kan gue memang ngga pernah akrab sama dia. Kayaknya kenal juga ngga deh. Gue tau dia ari elu sama beberapa bulletin kampus tempat dia biiasa nulis atau jadi tokoh berita.
Kabar gue di sini asik-asik aja. Mark cinta mati sama gue. Di sini gue iseng kursus bahasa Jerman sambil jadi tukang edit naskah Karl, temen Mark yang nerjemahin buku-buku penulis Jerman ke bahasa Inggris. Gile, bahasa Inggrisnya kacau balau Njel. Masih mendingan gue kemana-mana.
Gue seneng lu udah mulai banyak temen di net. Saran gue sih lu ikutin jejak gue. Kan enak kalo lu bisa memperbaiki nasib dengan dapet cowok bule. Sekere-kerenya mereka, masih lebih baik ketimbang cowok Indonesia. Udah dulu Njel, gue harus kursus dulu ya. Gue doain lu ketemu cowok oke. Biar lu bisa ngelupain Sangkakalalalalala yang ngga jelas itu.
Okay, good luck, sista!
Kiss and hug,
Suzan

Komentar