BAB II: Rutan Sementara Polda Metro Jaya, 2004

Thumbnail

Judul ini merupakan adaptasi dari kartun karya Peter Steiner yang pernah dimuat di The New Yorker, “On The Internet, Nobody Knows You’re a Dog”.

Udara terasa lembab. Selembab tubuh dan rambutku yang entah sudah berapa lama tidak tersentuh sampo. Memang dasarnya sudah lepek ya tambah kucai saja. Mirip bulu kucing tercebur got, disiram air panas lalu dijemur matahari dan kembali terguyur comberan. Kesunyian bukan apa-apa. Memang aku ditakdirkan menjadi manusia dengan kemampuan menutup mulut luar biasa. Kesepian adalah rutinitas biasa saja. Bukan kesepian atau kesunyian yang membunuhku, namun justru kehampaan itu sendiri. Dibatasi empat dinding, beberapa jeruji besi berkarat, mereka boleh menahanku secara fisik. Tapi tidak secara mental. Kita lihat saja siapa yang mampu bertahan paling lama. Aku atau mereka? Sudah hari ke-2 sejak aku dijemput dari rumah. Nenek shok luar biasa melihat ada polisi mengetuk pintu. Disangka ada famili kecelakaan atau apa. Lebih shok lagi begitu polisi mengeluarkan surat penahanan. Kasihan, nenek satu-satunya yang kupunya di dunia ini. Dia tidak percaya dengan semua dakwaan polisi. Tentu saja, siapa yang bisa percaya? Cucunya sematawayang ini selama ini hanya seorang cewek pendiam, tertutup, kuper, tidak banyak tingkah. Tiba-tiba saja polisi datang, menuduh cewek pemalu itu sebagai otak dari sekian banyak kasus kriminal. Siapa bisa percaya? Lebih lucu lagi kalau dikisahkan bagaimana ekspresi para polisi yang datang menjemput saat aku mengaku sebagai Angel. “Jangan main-main Mbak, kami serius. Tidak ada waktu untuk bercanda,” gertak salah satu yang berpakaian preman. “Saya ngga bercanda, Pak. Di rumah ini cuma ada saya dan nenek saya. Sayalah yang bernama Angelia. Ini KTP saya sebagai bukti,” kusodorkan benda itu. Empat orang petugas itu memandangiku dengan mata melotot dari ujung ubun-ubun sampai kuku jempol kaki. My God, memangnya aku harus berpenampilan seperti apa? Bagaimana sih fantasi mereka ini tentang profil Angel The Tricky? Memakai bikini merah menyala ala pemeran Baywatch? Surat penahanan itu beralasan bahwa Angelia adalah tersangka menjadi pimpinan beberapa kasus kriminal di Internet. Merusak situs resmi pemerintah dan sejumlah BUMN. Sangkaan lain adalah menjadi otak beberapa kasus carding dan phising. Mau tak mau aku tertawa geli. Menjadi otak? Mereka pikir teman-temanku tak punya otak sendiri? Kabarnya polisi sudah menyimpan semua jejak log in pada situs-situs yang jadi korban deface. Semua mengarah ke satu nomor Internet Protocol (IP), yakni sebuah warnet. Setelah melalui investigasi cukup lama, dicek tanggal, jam hingga menit, terlacaklah identitas email pelakunya. Dikatakan di beberapa media, sang hacker sempat melakukan spoofing ke beberapa nomor IP di luar kota, tapi akhirnya terlacak jua jejaknya. Ayolah, semua jejak itu memang tak perlu dihapus sebab tak ada niat menjadi buronan. Deface itu kulakukan hanya sebagai peringatan pada mereka. Beberapa waktu sebelumnya aku bersama teman-teman lain sudah mengirim email ke institusi tersebut bahwa mereka punya “hole” pada sistem jaringannya. Mereka harus mewaspadainya, mengambil langkah pengamanan ketat agar “hole” itu tak dimanfaatkan oleh cracker tak bertanggungjawab. Salah mereka sendiri kalau langkah pengamanan itu tak dilakukan. Benar saja, sampai waktu pengumpulan data tiba, “hole” tadi dibiarkan terbuka. Ini jelas membuat teman-teman gemas. Kami memutuskan mengubah tampilan situs pemerintah tersebut dengan lelucon. Hanya lelucon. Tak ada pencurian data, pengerusakan, apalagi aksi terorisme seperti yang mereka tuduhkan. Tapi yang mereka lakukan justru membawa-bawa UU Subversif segala. Lucu, sungguh lucu! Dan di sinilah, ruang berukuran empat kali tiga meter ini, fisikku tertahan tak bisa beranjak. Kerinduanku yang terdalam bukanlah pada dunia di luar sana, namun pada dunia maya. Mereka menyita notebook-ku, Dell Latitude kesayanganku. Selama dua tahun terakhir aku nyaris tak pernah berpisah dengan benda itu. Baru tiga hari ini. Rasanya seperti neraka saja. Memutuskan diriku dengan dunia maya sama saja dengan memisahkan Deni Manusia Ikan dengan air. Aku sedang sekarat. “Ada kiriman,” seorang petugas menyodorkan tabloid TechnoNews ke sela jeruji. “Kamu jadi selebriti tuh di situ!” Kubaca halaman depan, sebuah judul dengan font besar di bawah headline. Warna merah menyala. “Interviu Ekslusive dengan Sahabat Angel”. Tak sabar kubuka langsung halamannya.

Interviu TechnoNews dengan Susan

Interviu dengan Susan, Satu-satunya Sahabat Angel di Dunia Maya Angel The Tricky sungguh menjadi fenomena dalam dunia virtual tanah air. Hingga saat ini seperti apa sosok pemimpin dunia underground tersebut masih menjadi misteri. TechnoNews berhasil mendapat salah satu kontak dengan Susan (26 tahun) yang kini bermukim di Freiburg, Jerman. Konon dialah satu-satunya teman karib Angel di dunia nyata. Yang akhirnya karena keterbatasan ruang dan waktu menjadi teman di dunia maya pula. Berikut hasil komunikasi tim TechnoNews melalui email dengan Susan.

Pertanyaan TechnoNews

Halo Susan,
Apa kabar? Jangan terkejut darimana kami mendapatkan alamat email Anda. Berkat bantuan seorang teman hacker yang tak kalah canggih dari kelompok Angel, kami berhasil membobol inbox email Angel dan menemukan alamat email Anda di situ. Begitu tingginya kalian berkirim email menandakan hubungan Anda dengan Angel cukup akrab.
Berikut ada beberapa pertanyaan yang kami ajukan, semoga Anda bersedia membalas.

1. Sejak kapan Anda mengenal Angel?
2. Bagaimana sesungguhnya kepribadian Angel? Apa benar ia memiliki kepribadian ganda?
3. Sejauh yang Anda tahu, siapa yang mengajari Angel segala ilmu mengenai hacking, carding, phising, dan sejenisnya?
4. Selain Anda, siapa lagi teman dekat Angel di dunia nyata?
5. Siapa pula teman Angel di Internet yang Anda kenal?
6. Apa Anda juga punya keahlian hacking seperti Angel?

Demikian dulu pertanyaan dari kami. Besar harapan kami Anda mau membalasnya. Demi kebaikan teman Anda sendiri.

Salam,
Redaksi TechnoNews

Jawaban Susan

Dear TechnoNews or whatever
Langsung aja saya jawab ya.

1. Saya kenal Angel sejak di kampus, sekitar 8 tahun lalu.Tahun 2001 saya pindah ke Jerman, jadi tak pernah bertemu fisik, hanya melalui email dan chatting di Yahoo Messenger (YM).
2. Kepribadian Njel yang saya tahu, dia pendiam, tertutup, ngga gampang akrab sama sembarang orang. Tapi dia cukup mandiri, punya keyakinan yang ngga gampang goyah, ngga mudah terpengaruh. Kepribadian ganda? Nonsens! Yang bilang begitu cuma para psikolog kurang kerjaan yang ingin dapat publisitas di media.
3. Yang mengajari semua itu tentu Internet. Tau kan, dengan Internet kita bisa menyerap segala macam ilmu, mulai yang remeh temeh sampai yang paling rumit? Bagus deh kalo udah tau.
4. Setau saya Njel ngga butuh teman selain saya. Buat cewek semandiri dia, persahabatan tidak bisa diukur dengan kuantias belaka, melainkan dengan kualitas. Njel bukan tipe manusia Indonesia kebanyakan yang senang melakukan segala aktivitas beramai-ramai. Itulah yang membuat saya salut dan tertarik untuk menjadikannya sahabat di bangku kuliah dulu. Dia tipe cewek yang sebenarnya cantik, tapi tak pernah merasa harus mengeksploitasi kecantikannya itu dengan gincu tebal, pakaian sexy dan gaya rambut seronok. Dia tipe kutubuku, intelek, cerdas dan seperti yang saya katakana, luar biasa mandiri. Cuma cowok goblok yang tidak naksir dia. Sayang, semua cowok yang ditemuinya di dunia nyata adalah cowok tolol. Jadi jangan salahkan dia kalau menemukan komunitasnya di dunia maya.
5. Ada sih beberapa. Apa perlu saya sebutkan? Lacak saja sendiri.
6. Saya bisa hacking? Bukan Cuma hacking, saya juga jago mancing, nggunting, ngeriting, mbanting dan tentu saja kencing.

Semua sudah saya jawab. Ada yang perlu saya tekankan pada Anda dan semua media di Indonesia mengenai Angel. Jangan sudutkan dia sebagai kriminil murni seperti maling jemuran. Yang mereka lakukan bukan apa-apa dibanding koruptor negara. Komunitas underground yang beranggotakan orang seperti Njel dan kawan-kawan tidak layak diperangi.

Salam
Susan

Email balasan Susan memang terkesan tak bersahabat. Namun bisa ditarik kesimpulan, sahabat pimpinan komunitas hacker tersebut memiliki solidaritas cukup kuat. Terbukti dari jawabannya yang klise, masih menutup-nutupi banyak hal tentang Angel. Seperti yang kita tahu, keberadaan Angel hingga saat ini masih disembunyikan pihak kepolisian. Berdasar investigasi TechnoNews, sebuah sumber menyatakan bahwa Angel yang bernama asli Angelia adalah seorang perempuan pendiam, tertutup, bahkan kuper. “Kami jarang ngobrol sama dia, padahal sudah tiga tahun sekantor, seruangan malah,” ujar sumber yang enggan disebutkan namanya itu…

Percakapan dengan Pengacara

Bla bla bla! Kuhentakkan taboid sialan itu ke lantai tanpa menuntaskan sampai akhir tulisan. Sungguh berita tak berbobot. Sungguh sahabat yang bisa diandalkan Susan itu. Juga sebagian besar temanku di dunia maya. Hanya entah bagaimana kabarnya keberadaanku justru bisa dilacak karena testimony salah satu dari mereka. Siapakah itu? Jawabannya masih menjadi misteri yang berputar-putar di kepala. Mendadak saja aku sosok Sangkakala melintas. Mungkin begini dulu ia merasakan dipenjara. Kutilik-tilik ada sedikit persamaan antara aku dan Sangkakala. Kami sama-sama dipenjarakan secara fisik karena pemikiran kami. Bedanya ia menempuh jalan dunia nyata, sedang aku dunia maya. Dan dimanakah kini ia berada? Suara derap langkah kaki mendekat. Wajah-wajah mereka akhirnya muncul dari luar bilik jeruji. Satu orang sipir, satu lagi komandan polisi yang sudah kukenal, satu lagi lelaki berstelan jas. Tak salah lagi, yang terakhir adalah pengacara. “Selamat pagi, Angel,” ujar komandan dengan suara berat. Aku terdiam menatapnya. “Selamat pagi, Angel,” si stelan jas membebek salam itu. Aku masih tak bergeming. Dia pasti akan menawarkan diri menjadi pengacaraku, seperti yang sudah-sudah. Ini ketigakalinya para ahli hukum itu datang menawarkan bantuan sebagai pembelaku. Apa yang harus dibela? Siapa yang bersalah? Tak ada sama sekali. “Saya Ariston Hendrian, pengacara,” ia mengulurkan tangan untuk bersalaman. Tak kuhiraukan. Aku bosan dengan prosedur ini. Sipir membuka kunci, aku diperbolehkan keluar ke ruang rapat di sebelah. Lalu aku dipersilakan duduk besama mereka. Si komandan berbla bla bla berorasi tentang pentingnya pengacara bagi orang dengan kedudukan sepertiku. Ia meninggalkan aku berdua saja dengan sarajana hukum itu. “Saya dengar kamu memang menolak didampingi pengacara. Alasan kamu karena amu merasa tidak bersalah. Justru karena tidak bersalah itulah maka kamu butuh pembela, Angel,” Ariston mulai merengek seperti dua pengacara lain sebelumnya. “Mas, nama saya Angelia, biasa dipanggil Njel. Bukan Angel. Itu hanya n ama di Internet,” ralatku datar. “Baik Njel, sebenarnya apa alasan kamu menolak didampingi pengacara? Tenang saja, say pro bono alias tidak meminta bayaran atas jasa pembelaan ini.” “Orang yang pantas dibela adalah orang yang bersalah, Mas. Saya tidak bersalah. Tidak melakukan kesalahan apapun. Jadi tak ada alasan menahan atau membela saya,” suaraku lancar mengalir. Sudah hapal betul aku dengan kalimat itu,sebab sudah pernah kuucapkan pada dua pengacara lain. “Njel, dengar baik-baik. Ini semua menyangkut masalah hukum yang kamu sama sekali tidak paham. Ada azaz praduga tak bersalah dalam hukum, dan saya mau kamu dikenakan azaz itu. Kamu tak bisa tahu bagaimana memperkuatnya tanpa bantuan orang yang paham betul tentang itu…” Mulailah ia menyerocos ihwal bagaimana pentingnya pengertian tentang hukum, betapa vitalnya peran pengacara dalam kasus seperti ini. Dan sejenisnya. Dan sebagainya. Aku hanya tepekur ngantuk. Lama setelah ia berorasi tentang pentingnya hukum, akhirnya aku menyela. “Menurut anda yang pakar hukum, apakah hacker itu?” “Hmm, hacker itu orang yang membobol jaringan keamanan komputer. Melanggar privasi. Tapi apa motivasinya, itu bisa sangat bias pengertiannya. Seperti pencuri yang bisa diperingan hukumannya setelah tahu apa motivasinya mencuri. Apakah untuk kesenangan belaka, untuk memfitnah atau demi kepentingan yang masih bisa dibenarkan. Contohnya saja maling ayam. Kalau motivasinya demi menghidupi keluarga, akab beda hukuman yang dijatuhkan dengan mereka yang motivasinya untuk modal berjudi…” Sekarang kepalaku berdenyut-denyut sakitnya. Orang di hadapanku ini boleh saja punya titel sarjana, berdasi, berjas dan mungkin penghasilan bulanannya sepuluh kali lipat gajiku. Tapi ia sama sekali tidak tahu definisi hacker. Layakkah orang macam ini menjadi orang yang kupercaya untuk membelaku? Sepertinya masih lama sekali ia duduk di hadapanku dengan gaya pidato seolah ia berada di ruang sidang untuk beraksi sebagai pembela piawai. Tak satupun kata-katanya yang mampir ke benakku. Yang berseliweran di kepala ini adalah siapa gerangan yang menurut polisi mengatakan akulah otak sekaligus pimpinan semua aksi kriminal di Internet? Pimpinan? Otak? Kami tidak butuh sosok pemimpin di dunia maya. Dunia kami adalah dunia tak mengenal hirarki. Tak ada pimpinan, tak ada yang dipimpin. Betapa naifnya mereka menyamakan dunia maya dengan dunia nyata. Dunia kami terlalu indah untuk dikotori dengan hirarki seperti dunia nyata yang pada akhirnya hanya menciptakan batas, kelas, pengkotak-kotakan manusia sebagai raja dan hamba sahaya. Sunguh memualkan. Pertanda mereka semua buta absolut terhadap apa yang sudah terjadi. Tapi memang sebuah kebodohan sudah kulakukan. Membocorkan identitas pribadi kepada salah satu hacker bukanlah jalan yang bijak. Bagaimana lagi, aku begitu terbius oleh kata-katanya. Instingku saat ini mengatakan, dialah asal muasal penyebab aku berada di rutan ini.


Zarathustr4 dan Sangkakala

Ada sesuatu pada diri Zarathustr4 yang membuatnya identik dengan Sangkakala. Tiap kali chatting, SMS atau berkiriman email dengan dia, pikiranku melintas pada Sangkakala. Selalu kubayangkan ia adalah lelaki yang menggetarkan hatiku di dunia nyata itu. Lelaki dengan idealisme membara, meneriakkan jargon-jargon revolusi dan idealisme kiri ke telingaku.

Perkenalan di #bugtrack

Zarathustr4 kukenal melalui channel #bugtrack di mIRC. Ia juga member sebuah milis hacker. Yang menarik dalam dirinya adalah ia tak segan membuka jatidirinya padaku. Mengaku bekerja pada sebuah kantor Internet Service Provider (ISP), Zara, begitu ia kupanggil, juga menyukai sastra, film dan musik. Ia tak pernah mengirim pic. Pada weblog dan Friendster-nya hanya diwakili oleh sosok gambar Zoroaster, si penelur agama Zaratustra, sebuah agama baru di Timur Tengah. Ia sempat keceplosan dirinya pernah menjadi aktivis sewaktu mahasiswa. Tapi tetap tak mau mengaku di kampus mana. Hanya semua yang dikisahkannya sangat mirip betul dengan Sangkakala. Memang ada ribuan atau bahkan jutaan orang yang masa kuliahnya dihabiskan dengan demonstrasi, mengutuki penguasa. Ada begitu banyak kepala yang mencoba-coba beraliran kiri atau kekiri-kirian. Tumbangnya Orde Baru yang notabene anti dengan segala hal berbau kiri membuat orang muda berpikir kiri adalah sexy. Ini serupa euphoria. Jumlah mereka sangat banyak. Mirip dengan tumbuhan cendawan yang awalnya dimusnahkan dalam video games Mario Bross, lalu tumbuh dengan bebas saat Mario mati. Karena revolusi di dunia nyata tidak semudah membalik telapak tangan, maka kita laukan revolusi di dunia nyata. ya, aku tahu itu. Itu juga yang pernah terlintas di pikiranku. Mungkinkah revolusi ini dilakukan oleh mereka yang gagal melakukannya di dunia nyata? Tidak juga. Justru kebanyakan teman-teman berasal dari golongan menengah ke atas yang sudah cukup mapan. Mereka tak pernah berpikir setitikpun tentang revolusi. Mereka hanya programmer, freak computer dan sejenisnya. Ah, mungkin hanya aku saja yang menafsirkannya berlebihan. No way. Aku juga berpikir sama, Za.

Komunikasi dan Dunia Nyata

Jadilah sejak itu aku mudah saja memberikan nomor ponsel. Komunikasi berlanjut di SMS. Kuanggap dia Sangkakala yang lama hilang sudah kembali. Jadilah sebuah kisah cyberlove. Cinta di dunia maya. Tak pernah bertemu fisik, cukup di chat room, email, paling banter SMS. Telepon juga tidak. Aku sudah mendogmatisasi, takkan pernah mengizinkan satu pun teman di net menelepon. Zarathustr4 mematuhi dogma itu. Nomor ponsel pun hanya kuberikan pada Zarasut4 seorang. Lain tidak. Sejak itu pula aku kian tak peduli dengan dunia nyata. Hanya ada dua kehidupan sosial di dunia nyata, yakni tempat kerja dan rumah. Di rumah aku hanya tinggal bersama nenek yang merawatku sejak kecil. Di usianya yang 60 tahun lebih, nenek sudah mulai sakit-sakitan. Sepulang kerja aku disibukkan dengan pekerjaan rumah. Nenek masih kuat memasak dan bebenah rumah. Tapi mencuci dan berbelanja kebutuhan sehari-hari menjadi bagianku. Nenek juga jenis perempuan yang tak banyak tanya. Ia hanya tersenyum, ngobrol basa-basi, membelai rambutku, setiap kali kupulang kerja. Setelah semua kerja rumahan beres, aku masuk ke kamar. Di sanalah kubuka Dell Latitude-ku, mengaktifkan koneksi Internet dan sim salabim, aku sudah ada di dunia lain. Dell ini kubeli dari hasil menabung. Walau gajiku tak seberapa, berkat gaya hidup super sederhana bersama nenek aku masih bisa berlangganan Internet. Dengan mengakses net dari rumah, ada lebih banyak waktu bagiku bergaul dengan teman-teman.

Komunitas dan Hirarki Hacker

Tak bisa disangkal kadang teman-teman ini agak gila juga. Selalu ada saja keisengan mereka yang membuatku was-was. Seperti ide membobol jaringan sebuah bank nasional, men-deface website instansi pemerintah, website pemerintah negara lain, menciptakan virus, worm, dan banyak lagi. Aksi itu hanya sekadar unjuk gigi untuk menandakan eksistensi mereka. Tidak ada motivasi lain. Kegiatan ini biasanya dilakukan berkelompok. Ada yang menamakan dirinya Goendoelpacoel, sebuah kelompok beranggotakan para newbie, yakni hacker pemula atau lebih dikenal dengan nama “Wanna be Hacker”. Mayoritas mereka melakukan script kiddies, mempraktikan program ciptaan hacker lain. Biasanya didapat dari chat room atau milis. Kelakuan mereka kerap membuat gerah hacker lain dengan mengklaim diri sebagai hacktivist, yaitu hacker activist. Pasalnya tidak semua hacker mau disamakan dengan pelaku deface. Sebagian berpendapat deface adalah aksi pengrusakan yang masuk dalam kategori aksi cracker, yaitu hacker yang merusak. Inilah yang kadang merusak identitas hacker. Belum lagi ditambah para carder yang kian merajalela. Cracker, carder, di mata umum sama saja dengan hacker. “Biarkan saja kesalahkaprahan itu. Kita udah cape. Kita lebih suka disebut sebagai security analist atau programmer saja,” ujar seorang teman. Ada semacam hirarki tersendiri di komunitas ini. Tidak semua setuju dengan hirarki yang ada, tapi memang pada dasarnya klasifikasi ini tetap terlihat. Idiom hacker hitam dan hacker putih juga kian sulit dibedakan saja. Putih adalah mereka yang sudah “tobat” dengan sepak terjang merusak dan menyebarkan virus dimana-mana. Sedangkan hitam adalah teman-teman yang kadang masih suka jahil membuat virus lalu menyebarkan ke seantero dunia maya. Kendati di komunitas underground klasifikasi itu masih jelas, prakteknya tak selalu demikian. Selalu ada saja teman yang tidak konsisten. Hari ini jadi hacker putih, esok berganti kulit jadi hitam. Lusa entah apa lagi. Itulah manusia. Tidak di dunia nyata atau maya, tetap sama saja plin plannya. Semuanya adalah teman-temanku. Aku mengikuti sekitar 20 milis, sebagian besar milis hacker tak peduli hitam, putih atau belang-belang. Dari sini aku tahu mereka masih terpilah lagi menjadi beberapa kelas sesuai kemampuannya menciptakan program, baik itu pembobol maupun penguatnya. Ada hacker elite, yakni mereka yang sudah sanggup merancang program sendiri, baik membobol dan mempertahankan sistem jaringan. Mereka tidak lagi melakukan script kiddies seperti golongan newbie. Kelas elit popular juga dengan sebutan suhu karena memang inilah hirarki tertinggi di kalangan mereka. Para elit merupakan hacker paling pakar, menguasai sistem jaringan dari luar maupun dalam. Mereka memegang teguh etika hacker, yakni tidak melakukan pengrusakan maupun pencurian data, apalagi menyalahgunakannya untuk mendapatkan barang atau uang. Elit merupakan golongan teratas dari strata ilmu jaringan keamanan. Mereka biasanya menduduki jabatan penting di divisi IT suatu perusahaan, setidaknya dipercaya menduduki tampuk kepemimpinan. Ada lagi kelas semi elite, hacker yang merancang sendiri programnya namun tidak sehebat elit. Keduanya sama-sama pakar dalam hal sistem keamanan network. Biasanya mereka bekerja sebagai programmer atau admin sistem jaringan suatu perusahaan. Kadang keahlian mereka dibutuhkan oleh perusahaan besar atau instansi pemerintah untuk memperkuat keamanan jaringan mereka. Ini banyak dilakukan temanku Morph3us yang sering ditugasi membobol jaringan bank-bank besar. Antara kelas elit dan semi elit sering terjadi persaingan. Pada dasarnya meeka hampir memiliki kemampuan serupa. Sedangkan di bawahnya ada development kiddies, sedikit lebih pintar dari newbie tapi masih berusia dini. Biasanya pelajar atau mahasiswa. Di bawahnya lagi adalah newbie ayang tergolong benar-benar pada taraf pemula menjadi hacker. Paling rendah adalah golongan lamer, orang yang pengetahuannya sangat dangkal tetapi berlagak pintar dan senang memamerkan keberhasilannya. Lamer ini akan sulit berkembang menjadi elit atau semi elit karena memang motivasi mereka bukan untuk meningkatkan keahlian, melainkan hanya untuk bergaya saja. Biasanya golongan ini berkembang menjadi hacker hitam yang menyalahgunakan kemampuannya untuk carding, cracking, dan sejenisnya. Mereka, carder, cracker, hacker hitam, putih belang bonteng ini, semua adalah teman-temanku. Aku menyatukan semua dalam satu komunitas yang dinamai Wormgrounder. Berasal dari komunitas milis berbeda-beda, kami menyatu di sini dengan satu tujuan, menumbangkan dominasi satu vendor sistem operasi. Sesuai dengan ideology yang didengungkan Stallman dan Torvalds, kami selalu menolak dominasi satu produk software yang membuat semua user tunduk begitu saja dengan aturannya. Kami bersama-sama berupaya memecah dominasi tersebut dengan menciptakan aneka program yang membobol, merusak program mereka. Pada dasarnya software buatan vendor dominan itu sangat mudah diterobos karena memiliki banyak sekali vulner alias celah atau hole. Suatu software yang sedemikian mendominasi dan banyak dipakai user otomatis akan sangat mudah diterkaulner-nya. Hanya dalam hitungan jam atau hari, begitu mereka merilis satu program, maka hacker bisa dengan mudah mendapatkan hole itu. Eksploitnya sangatlah kecil. Hal berbeda berlaku pada sistem operasi Open Source yang amat banyak varian dan distronya. Jangan heran kalau perusahaan yang banyak diserang virus komputer adalah perusahaan yang mempercayakan sistem jaringannya pada satu vendor yang dominan itu tadi. Sedangkan pada jaringan Open Source seperti Linux, virus sangat jarang ada. Kalaupun ada hanya pada masa-masa awal kebangkitan Open Source dulu, itu pun hanya bersifat teoritis, dimana sesama pembuat virus saling memberitahu untuk menguji coba program yang mereka buat. Seperti yang kuungkap di atas, dunia maya adalah dunia tak mengenal sistem hirarki. Jadi komunitas Wormgrounder ini merupakan komunitas yang benar-benar berbasis konsep persamaan, persaudaraan. Tidak ada satu golongan pun yang lebih berkuasa dari yang lain. Hacker kelas elite sekalipun tidak bisa berkuasa atas newbie atau bahkan aku yang gaptek sama sekali. Kami memandang dunia maya sebagai satu dunia bebas merdeka yang bisa dijelajahi kapan pun dan kemana pun kami mau. Website-website milik negara lain bisa dengan mudah kami terobos. Kami juga menjalin hubungan baik dengan hacker dari negara lain. Nama-nama hacker yang menjadi tokoh dalam buku Underground –nya Dreyvus satu demi satu berhasil kami kenal secara pribadi. Sebut saja Mendax, hacker asal Australia yang sudah memulai sepak terjangnya sejak 1988. Lelaki asal Melbourne tersebut masih berusia 16 tahun ketika berhasil menerobos sistem komputer Minerva yang banyak dipakai di institusi perbankan Australia. Mendax sudi membagikan sedikit ilmuwan seperti yang disebut dalam Underground. Menurutnya, nama-nama akun di sistem Minerva sangat mudah konsepnya. Masing-masing terbentuk dari tiga huruf yang diikuti oleh tiga angka. Sistem ini sebenarnya cukup susah diterobos karena banyak sekali kemungkinannya. Tapi dengan mengetahui polanya, maka semua akan muda. Pola itu adalah tiga huruf pertama hampir selalu singkatan dari nama perusahaan. Misalnya saja Bank ANZ memiliki nama akun ANZ001, ANZ 002 dan ANZ003. Nomor-nomornya selalu mengikuti pola sama dengan kebanyakan perusahaan. Mendax berpendapat, orang dengan IQ pas-pasan sekalipun bisa dengan mudah menerka nama akun sebuah perusahaan. Untuk menebak passwordnya, dibutuh sedikit lagi pemikiran kritis. Biasanya ini dilakukan dengan cara menjalin hubungan baik dengan seseorang yang bekerja di balik komputer perusahaan yang bersangkutan. Password user karyawan bank merupakan cara termudah untuk melacak password-password lainnya. Bahkan sesungguhnya di kalangan underground, tersebar data password user sistem Minerva yang bisa di-download. Data yang terdiri atas 30 halaman itu berisikan nama user, nama perusahaan, hingga alamat, nomor telepon dan faksimili. Memang tidak semuanya bisa dipercaya, tapia da yang cukup valid juga. Inilah yang digali dan dilakukan oleh teman-teman. Membangun komunitas besar merupakan keuntungan tersendiri, sebab dengan kian luasnya networking kami, kian banyak pula informasi dan data yang bisa didapat serta ditukar. Sebuah website pun dibuat, https://www.wormgrounder.org. Berisikan aneka informasi script, forum tanya jawab, terkoneksi dengan berbagai link ke website lain yang juga sarat pengetahuan. Di sinilah kami bebas berkomunikasi, dari masalah paling teknis sampai sekadar canda. Kadang membahas topik yang tak ada hubungannya dengan komputer, seperti musik, politik, buku serta isu-isu terkini. Soal database Pemilu, nilai rupiah yang terus merosot, dimana mencari koleksi album Jimmy Hendrix lawas, info tentang konser musik, film terbaru, banyak lagi. Untuk masalah yang lebih pribadi bisa dikomunikasikan lewat jalur pribadi alias japri, entah itu email atau chat. Di Wormgrounder juga kami saling unjuk gigi jika sudah berhasil membobol suatu sistem jaringan, entah itu dalam atau luar negeri. Selalu ada saja ide jahil teman-teman mengakali, seperti bagaimana masuk log in koneksi ADSL tanpa membayar sepeser pun. Kalangan penerobos ponsel tidak pernah surut idenya. Bagaimana mendapatkan hole pada jaringan provider selular sehingga berkiriman SMS bisa gratis. Atau iseng menjahili orang dengan mengirim SMS memakai nomor ponsel lain. Ada lagi teman-teman phreaker, yakni “pencuri” saluran telepon fixed yang bisa dengan mudah menerobos sistem komunikasi perusahaan. Para phreaker ini salng membagi ilmu bagaimana melimpahkan pulsa telepon interlokal bahkan juga internasional ke sejumlah perusahaan asing. Sungguh aksi yang nakal-nakal. Tapi siapa suruh mereka menciptakan sistem keamanan yang gampang ditembus? “Setiap teknologi selalu memiliki kelemahan. Sekali kelemahan itu ditemukan, mereka akan segera memperbaikinya. Dan saat itulah kami kembali mencari kelemahan lain. Inilah tantangan bagi kami,” seorang teman pernah berkata. Hampir setiap dari kami memiliki weblog yang berisi jurnal harian, opini hingga curahan hati. Ketika demam Friendster merebak, kami tak mau ketinggalan. Jarang ada yang mau menampilkan foto aslinya. Terlebih aku. Profil diriku di situ diwakili oleh avatar yang dibuat sendiri. Sosok perempuan berkacamata, rambut bob, dengan pandangan mata tajam. Dua yang pertama betu, tapi soal mata tajam itu hanya fantasi belaka. Zara adalah satu dari banyak hacker yang kerap membanggakan kepiawaiannya. Terutama di depanku. Tiap kali ia berhasil menemukan hole baru pada suatu sistem, langsung ia meng-SMS-ku, dengan harapan akan kusampaikan ke teman-teman lain. Dan bodohnya, selalu saja itu kulakukan. Terus terang saja, dulu, sebelum menemukan nickname Zara, aku selalu berharap bisa menemukan sosok Sangkakala pada diri lawan chat. Setiap mahluk yang mengidentifikasikan dengan jenis kelamin m (male) selalu kuanggap sebagai Sangkakala. Dan kali ini ada cowok ber-nick name Zarathustr4. Mengaku bernama asli Radik Kalangi, usia 27 tahun, bekerja di sebuah bank swasta sebagai admin system. Dia lebih suka kupanggil Zara. Tidak ada penyebutan nama asli di setiap perbincangan kami secara online. Dia memanggilku Angel, sama seperti semua temanku di dunia maya. Kami berteman sekitar enam bulan sebelum aku memberinya nomor ponselku. Dengan perjanjian, tak ada panggilan telepon. Cukup pesan singkat saja, SMS. Kami juga tidak boleh memberi nomor ponsel masing-masing ke orang lain. Sungguh sebuah hubungan yang janggal bagi kebanyakan orang. Tapi tidak bagi kami. Di luar semua prasyarat tadi, kami berhubungan selayaknya teman akrab, bahkan kadang juga kekasih. Susan mentertawaiku setengah mati. Sampai ia merasa tidak sayang menghamburkan uang untuk meneleponku, memastikan apa yang kukisahkan di email itu benar. Derai tawanya terdengar mirip kuntilanak berkumandang dari seberang benua nun jauh di sana. Suaranya bahkan memekik, menyerupai decitan ban Bajaj yang melindas kucing. Selayaknya manusia yang terjerat cinta, aku ehilangan akal sehat, bahkan juga otakku. Tanpa sadar aku kerap berkeluhkesah, curhat, tentang hidupku sehari-hari pada Zara. Tentang suasana kantorku yang tidak manusiawi. Soal teman-teman kantor yang meledek sepatu boot merahku. Tentang atasan super cerewet yang menganggapku robot tak bernyawa sehingga memberi perintah cukup dengan rentetan kata tak berirama, tanpa senyum atau basa-basi. Tentang bagaimana ruwetnya menjadi moderator milis yang beranggotakan 7000-an hacker dari beragam komunitas dengan beraneka kemauan. Semua kumuntahkan begitu saja ke Zara seperti berondongan senapan uzi otomatis. Dan tanpa sadar pula aku sempat menyeploskan alamat kantor, telepon bahkan juga nama perusahaanku. Juga tentang aku yang hanya tinggal bersama nenek seorang sejak kecil. Oh, kenapa tidak sekalian saja kusebut password dan nomor rekening bank-ku? Betapa aku sungguh-sungguh seekor keledai dungu. Mempercayai begitu saja orang yang hanya kuketahui nickname dan nomor ponselnya. Keledai bodoh bin idiot aku ini!


Acara gathering para Wormgrounder sungguh menyita banyak sekali waktuku. Untuk persiapan acara ini aku sampai rela menghabiskan malam-malam di depan Dell Latitude kesayanganku. Pekerjaan kantor terpaksa kubawa pulang sebab di kantor aku lebih banyak memanfaatkan akses telepon untuk menelepon kesana kemari demi mengumpulkan informasi tempat, biaya yang dihabiskan, mengecek transferan dana dan sejenisnya. Belum lagi mengadakan chat confference dengan teman-teman Wormgrounder. Tidak semudah yang dibayangkan, mengorganisir seemikian banyak orang dengan keinginan berbeda-beda, ide beragam serta ego satu sama lain yang tak mau dikalahkan, cukup membuat kepala mau pecah. no way, mam. Gue ngga suka tempat itu. Terlalu terbuka. Tapi ada live musiknya. Band-nya asik. Kenapa ngga di Carabean Night aja?Manajernya aku kenal. Bisa dapet diskon. ohya, week end tanggal segitu aku ngga bisa, ada acara keluarga. Blah blah blah. Untuk menentukan hari dan tanggal saja butuh kompromi dengan banyak kepala. Ditambah tempat yang tak kunjung menemukan kata sepakat. Belum lagi kalangan hacker elite yang tak mau dipertemukan dengan newbie yang katanya norak. Akhirnya, dengan perjuangan, emosi tertahan, kebijakan yang dipaksakan, gathering itu ditetapkan sudah. Sebuah café eksklusif di selatan Jakarta disewa secara tertutup. Peserta dibatasi 40 orang, diseleksi khusus member milis yang bisa dipercaya karena kompetensinya. Ini dilakukan demi mengantisipasi hadirnya mata-mata yang notabene bisa jadi kaki tangan polisi. Sulit memang mendeteksinya. Kami hanya saling berkomunikasi di dunia maya. Bagaimana mungkin bisa yakin bahwa data dan informasi ihwal jati diri satu sama lain memang valid? “Ini semacam tindakan spekulatif. Bagus kalau semua clean. Tapi yang lucu kalau justru semua adalah penyamar. Atau justru para lamer menjijikan?” Begitu ungkap Zeus2000 mengomentari kesangsianku tentang kevalidan jatidiri teman-teman. Setidaknya yang bersedia datang sudah mentransfer dana booking tempat. Menandakan mereka benar eksis di muka bumi. Bukan sekadar nickname dan nomor IP yang sulit dilacak. Dan hari H itu tiba. Oh ya, aku lupa mengatakan bahwa semua peserta acara ini akan memakai topeng. Sebuah pesta topeng. Masquarade.

Komentar