BAB III: The Dream of Morpheus

Thumbnail

Judul ini merupakan adaptasi dari kartun karya Peter Steiner yang pernah dimuat di The New Yorker, “On The Internet, Nobody Knows You’re a Dog”.

Kunamakan diriku Morpheus.
Dan mereka pun memanggilku Morpheus.
Di mana di belahan nyata ini kau bisa bebas menamakan dirimu sendiri? Tidak ada.
Begitu lahir, orangtua memberimu nama. Kau pun dipanggil dengan nama itu.
Juga saudara, teman, tetanggamu.

Di pergaulan, kau mencoba mengganti nama itu. Tidak mudah.
Kadang ada nama aneh serta konyol yang ditakbiskan menjadi panggilanmu.
Sungguh sial jadi manusia — tak bisa bebas memilih ingin jadi apa.
Sebagian besar langkah kita ditentukan oleh sekitar, oleh orang lain yang bahkan tak mengenal kita dengan baik.

Tapi berterimakasihlah pada pihak militer Amerika Serikat.
Sistem komunikasi mereka menjadi cikal bakal Internet,
sebuah dunia di mana setiap individu bisa bebas menamakan dirinya.
Bukan hanya nama, bahkan wajah, jenis kelamin, ras, agama, ideologi, mimpi, obsesi, dan banyak lagi
bisa kita pilih sesuka hati.


Morpheus: Sang Pembius dan Terbius

Morpheus namaku. Kupilih itu karena aku memang kerap terbius banyak hal.
Ingin juga aku menularkan bius itu ke setiap orang yang kujumpa.
Sedahsyat morphin yang membuat orang tak berdaya bangun dari tidurnya,
menghilangkan rasa sakit walau sementara, membuat ketagihan orang yang memakai.
Lagi, lagi, dan lagi.

Berwaspadalah bila jumpa nama itu di dunia maya —
kau akan terbius bersamanya, dan entah kapan baru bisa terbangun.

Morpheus A.K.A morph3uz A.K.A Morgan.
Yang terakhir itu singkatan dari morphin dan ganja.
Biar begitu aku bukan junkies.
Boleh saja sama-sama membius dan terbius, tapi bukan dengan benda sejenis itu.

Dengan mur, baut, dan kabel-kabel.
Deretan angka serta huruf tak beraturan. Kode, sandi, enkripsi yang begitu sexy.
Dengan berkendara satu unit PC ber-AMD Athlon 1300 MHz, 192 MB SDRAM, 20 GB Hard Disk,
sistem operasi Ubuntu (Hoary) dan Windows XP SP2.
Kadang ditemani laptop Toshiba Tecra 8100 cantikku — 600 MHz, 256 MB RAM, 2 GB hardisk.

Keduanya adalah istri terkiniku yang setia menemani kesendirian siang malam.
Lebih dari istri — nyawa cadangan yang tak tergantikan.
Setidaknya selama aku belum mampu membeli yang baru. Haha.


Cinta Pertama: PC Rongsokan

Cinta pertamaku adalah sebuah PC rongsokan bekas yang dibeli bokap di Mangga Dua.
Sistem operasinya masih MS DOS 6.0. Tidak terlalu berkesan sebab lebih tertarik dengan mur baut motor tua.
Baru dua tahun kemudian PC diupgrade jadi MS DOS 6.22.

Di sekolah tempatku mengenakan putih abu-abu, komputer jadi ekstrakurikuler yang menantang.
Lalu melangkah mengenal Lotus 123. Hmm, too serious.
Games lebih menarik — Mario Bros dan semua game berbasis DOS memang mengasyikkan.

Muncul keinginan bikin program komputer sendiri.
Asik juga kalau tak harus tergantung pada program yang sudah baku.
Untuk mencipta, kita harus mengawali segalanya dengan belajar bahasa penciptaan.
Inilah yang membuatku rajin mengobok-obok BASIC dan dBASE.

Kelamaan makin terbius setelah menonton film Wargame — tentang orang-orang hebat di balik komputer.
Baru belakangan kutahu, itulah yang disebut hacker.


Ledakan Internet dan Euforia Reformasi

Beberapa tahun kemudian, terjadi booming Internet di Indonesia.
Saat itu reformasi politik tengah berkecamuk.
Suharto lengser oleh aksi mahasiswa.

Semua berita politik bisa kita intip lewat dunia maya.
Ada banyak hal yang tak kita baca di media cetak, namun begitu familiar di dunia ini.
Siapa pun, di mana pun, asal terkoneksi, bisa bebas menyampaikan pandangan.

Cukup ketik apa yang ada di kepalamu, dan akan banyak orang di luar sana membacanya.
Bermunculan media-media online lokal, mailing list alias milis.
Di forum ini siapa pun merdeka menghujat, memaki, meluapkan dendam politik.

Suatu euforia luar biasa.
Tabik untuk Internet!


Dari The Mentor ke Linus Torvalds

Masuk dunia kampus setahun kemudian, masih pakai Windows 98.
Saat surfing tak sengaja menemukan Manifesto Hacker oleh The Mentor.
What a great man!

Juga membaca How to Become a Hacker karya Eric S. Raymond.
Dari situ mengenal Pascal, C, HTML, Netscape Composer, dan membuat homepage pribadi di Geocities.

Karena The Mentor pula aku jatuh cinta pada Open Source,
terlebih setelah mengenal nama Linus Torvalds.

Belajar Javascript untuk mempercantik HTML, kemudian melirik Linux — mulai dari Redhat 7.0,
berkembang ke 7.1, lalu Mandrake 8.2.
Segala yang berbau Open Source mulai mengintimidasi.

Di milis Hello_Newbie, aku bertemu teman seperti Zeus2000, G3nderuwo, dan banyak lagi.
Kami membuat chat room di mIRC, bernama #Cecurut,
yang kemudian berubah jadi milis dan website berbasis PHP Nuke sederhana.


Dunia Nyata vs Dunia Maya

Namaku Morpheus. Seperti morfin, aku membius dan terbius. Dunia nyata kian jauh.
Tapi hidupku tak seburuk itu — malah indah.

Katanya aku punya rasa percaya diri berlebihan.
Avatar-ku di Yahoo Messenger adalah profilku yang sesungguhnya,
tapi karena terlalu bagus, banyak yang mengira palsu.

Itulah yang kusuka dari net — kita bisa menjadi apa pun yang kita mau.


Dari Mur, Baut, ke Dunia Lab

Komputer membuatku birahi sejak SMP, makin menggila saat SMA.
Maka kuliah pun kuambil di bidang serupa.

Beruntung orangtuaku mendukung.
Di kampus aku kian tenggelam dalam keindahan mur, baut, kabel, sandi, kode, enkripsi.
Banyak mata kuliah kubabat habis; ujian praktek kulahap seperti naga api menelan Mario Bros.

Tenggelam di dunia maya tak berarti tertutup di dunia nyata.
Who said hacker is a nerd? Nonsense.

Silakan Bill Gates menyebut dirinya nerd — pantas saja dia kuper. Go to hell!
Gates gave us a bad name.

Aku bukan Morpheus di dunia nyata, tapi biusanku tak kalah berbahaya.
Wajah ganteng, wawasan luas, paham komputer — membuatku penuh percaya diri.

Selulus kuliah aku berpindah kerja sesuka hati: admin, host, web designer, penjaga perpustakaan,
petugas riset, bahkan fotomodel freelance, kontributor media online, penjaga warnet,
dan kini asisten lab di kampus negeri bergengsi.

Siapa sangka lulusan kampus swasta bisa “mengangkangi” lab negeri?
Jawabannya: jejaring — koneksi yang luas, baik di dunia nyata maupun maya.


Surga di Ruang Lab

Kini aku betah di ruang ber-AC, lengkap dengan PC, server, bandwidth deras.

Kerjaku? Memasukkan data dosen, mengupdate website kampus, menjaga server.
Sambil mendengarkan Winamp, bermain game online, chatting, menyeruput kopi
dan makan pisang goreng hangat. Ditemani suara Jim Morrison atau Kurt Cobain.

What a beautiful life!

Kalau jenuh, tinggal keluar ruangan — ada teman-teman dan mahasiswi cantik yang siap diajak ngobrol, nonton,
atau nongkrong di kafe.

Atau main game bareng Zoom dan Leo. Kami main Ragnarok, Redmoon, dan game lainnya.
Homo luden — manusia memang mahluk yang gemar bermain.


Angel: Si Misterius dari Dunia Maya

Dan begitulah, suatu ketika aku tersihir oleh sebuah nama baru: Angel.

Nama yang seksi. Mengaku female. Awalnya aku curiga dia male yang menyamar,
tapi dari tutur katanya, 200% dia perempuan sejati.

Nama itu muncul di chat room #cecurut.
Ia mengaku awam di dunia underground, diundang oleh seseorang yang bahkan tak ia kenal.
Heran ada cewek yang tertarik gabung dengan ruang bernama jelek ini.

Angel bukan lamer atau wanna be.
Ia bahkan mengaku lebih bodoh dari keduanya.
Hanya tertarik pada Manifesto Hacker — titik.
Ingin mengenal dunia underground dan mendukung perjuangannya.

Lucu juga cewek ini. Mengaku gaptek, tapi tidak sok tahu.
Aku kenal banyak lamer cewek sok pintar, ujung-ujungnya mencuri script kiddies atau data carding,
atau sekadar pamer pernah kencan sama hacker. Menjijikan.

Tapi Angel berbeda.
Tak memberi identitas, tak sok pintar.

Pada pertemuan kelima di chat, ia masih misteri. Namun ternyata cerdas —
paham filsafat: Nietzsche, Plato, Hegel, Marx.
Juga film-film legendaris: The Godfather, Star Wars, Indiana Jones, hingga Hannibal.

Ia tahu kenapa Led Zeppelin bubar, kenapa The Doors condong ke musik teater,
dan makna lirik The Beatles yang penuh kiasan drugs campaign.

Namun jangan bicara teknis dengannya — dia mengaku gaptek, dan itu benar.
Satu hal yang membuatku kagum: ia tidak sok tahu.


Morpheus, sang pembius dan terbius — kini menemukan seseorang yang membiusnya kembali.

Komentar