Prolog: Di Internet, Tak Ada yang Tahu Kamu Adalah Seekor Anjing

Thumbnail

Judul ini merupakan adaptasi dari kartun karya Peter Steiner yang pernah dimuat di The New Yorker, “On The Internet, Nobody Knows You’re a Dog”.

Suasana hiruk-pikuk kian tak terkendali ketika pembawa acara mengatakan bahwa jumpa pers akan segera dimulai karena Angel The Tricky sudah memasuki ruangan. Kumpulan wartawan memberondong siapa saja yang masuk dari arah pintu masuk. Ternyata mereka adalah beberapa narasumber yang sudah akrab bagi wartawan dan publik.

Seorang gadis mungil, kurus cenderung kerempeng dan wajah pucat duduk dengan manis di kursi deret paling belakang. Air mukanya innocent dengan kacamata ala kutubuku. Tak seorang pun mempedulikannya. Sosoknya yang dibalut baju ala kadarnya, tak mengenal perkembangan fashion, sungguh tidak mengundang perhatian. Ditambah sikap diam, malu-malu menatap orang dengan tatapan mata kosong, menandakan pikirannya sedang melayang entah ke mana.

Komandan reserse bagian kejahatan informatika, seorang pakar hukum, dan pengamat teknologi informasi sudah menduduki kursi pembicara. Mereka mulai bercuap-cuap ihwal tertangkapnya otak cybercrime sekaligus pimpinan komunitas underground Internet.

“Kami memang sudah berhasil menjemput Angel ini langsung dari rumahnya. Tapi keberadaannya masih belum bisa kami sebutkan karena masih menunggu bukti-bukti otentik lain.”

Suara lain terdengar:

“Undang-undang yang sudah ada saat ini mampu menjerat tindak kriminal di Internet walau kita belum punya cyberlaw...”

Lalu ditimpali wartawan yang bertanya kritis. Ujung dari semua itu adalah pertanyaan, dimanakah si hacker yang katanya sudah tertangkap itu disembunyikan?

Wartawan tambah tak sabar berkasak-kusuk saling bertanya di mana Angel. Waktu terus berlalu dan panitia tak jua mengumumkan keberadaan Angel. Para narasumber di depan hanya cuap-cuap tak tentu arah. Polisi memamerkan kepiawaiannya meringkus hacker yang diduga mengomandani semua kasus kejahatan Internet yang belakangan marak terjadi.

“Dialah pimpinannya, setidaknya begitu menurut kesaksian beberapa temannya.”

Gadis pucat kerempeng tadi, yang duduk diam di sebelah seorang wartawan yang tampak anteng, mulai bergeming. Ia diapit dua lelaki berbadan kekar. Yang satu beranjak pergi, satu lagi nampak tenggelam menyaksikan jalannya acara.

“Saya mau ke toilet,” ujar si gadis pelan.

Si lelaki kekar hanya mengangguk. Gadis beringsut bangun. Dilihatnya seorang wartawan anteng menekuni buku notes-nya.

“Kamu wartawan?”
“Ya betul, kenapa mbak?”
“Kalau saya beritahu di mana Angel, maukah kamu berjanji tidak bilang siapa-siapa dan menuruti semua kata saya?”

Lelaki itu terkejut. Sudah hampir satu jam ia menunggu tanpa kepastian munculnya tersangka pemimpin komunitas cybercrime itu. Mendengar nama Angel disebut, kontan ia tersontak.

“Wah, yang bener mbak. Tentu saja mau!”
“Ikuti saya.”

Mereka menyelinap ke belakang. Di dekat toilet, si gadis terhenti, terduduk di kursi kayu dekat situ.

“Saya Angel. Saya ngga mau tampil di depan sana dan jadi santapan media. Saya hanya mau bicara dengan satu wartawan yang saya percaya. Kamu sejak tadi diam saja dan sabar menunggu. Mau ke kedai kopi dekat sini?”
“Tunggu dulu. Kalau kamu benar Angel yang katanya tertangkap itu, bagaimana mungkin kamu bisa bebas berkeliaran?”
“Saya bebas selama masih di area sini aja. Tadi saya diapit pengawal dan saya sudah izin ke toilet.”
“Saya ngga percaya!”
“Oke, lantas apakah kamu sendiri tipe orang yang bisa dipercaya?”

Lelaki itu menunjukkan kartu pers-nya. Angel menatap lama lalu berbisik,

“Kita ngga bisa ngobrol panjang di sini. Sebentar lagi pengawal saya akan datang. Kalau mau, temui saya di penjara besok atau lusa. Bilang saja kamu saudara saya, satu-satunya keluarga selain nenek saya.”

Belum sempat wartawan itu menjawab, seorang lelaki kekar datang. Si gadis langsung pergi bersamanya. Lelaki itu tertegun.

Bagaimana mungkin perempuan kurus itu adalah Angel The Tricky yang diberitakan gembong cybercrime? Namun benar ia dikawal polisi berpakaian preman. Arya tak bisa mengusir kecamuk itu dari pikirannya. Bagaimana kalau ia memang benar Angel?

Beberapa hari kemudian Arya berhasil menemui Angel di rumah tahanan sementara Polda Metro Jaya. Wajah Angel pucat, rambut kusut, mata cekung. Ia tersenyum samar.

“Kamu bawa kertas dan pulpen?” bisiknya.

“Kamu tahu blog? Weblog?”

Arya mengangguk. Angel menulis beberapa alamat blog di notes-nya.

“Itu alamat blog punyaku dan beberapa teman dari komunitas kami. Buka dan baca. Dari situ kamu akan tahu kebenaran kisah kami. Semua cukup valid, bisa dipercaya. Kamu boleh mempublikasikannya. Terserah, dijadikan buku atau tulisan bersambung di koran.”

Barisan alamat blog itu yang nantinya membawanya ke petualangan ini.

Komentar